Korupsi Nan Tak Kunjung Habis

BICARA mengenai kasus korupsi di negeri ini seperti tidak pernah habis. Durasi episodenya mengalahkan episode sinetron di layar kaca, bersambung-sambung walaupun sejatinya publik sudah mulai muak. Barang kali, jurnalis pun sudah bosan mengabarkan inti cerita mengenai itu ke itu saja. Bisa jadi orang tak melanjutkan membaca sebuah berita korupsi di gadget-nya tersebab sudah hapal alur dan ending beritanya. Bagi yang masih terbiasa membeli koran di lapak eceran, bisa jadi batal disebabkan head-line-nya masih dipenuhi kabar tindak korupsi yang terjadi di sudut antah berantah negeri ini.

Namun, apa pun bentuk berita yang terjadi, termasuk potret buruk asalkan mengandung elemen ‘kebenaran’ sebagaimana prasyarat utama yang pernah ditegaskan oleh dua ‘Nabi’ Jurnalisme dunia, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, tentunya amat layak diberikan. Daya jangkau berita itu akan berfungsi tidak saja sebagai ‘tukang kaba’, melainkan menjadi agen kontrol sosial yang pada gilirannya menyediakan ruang untuk mengkritisi serta memperbaiki keadaan di lingkup sosial-politik. Di titik ini, kita justru wajib berterima kasih kepada media yang masih mau memberikan kasus-kasus korupsi.

Lebih jauh, asalkan penulis berita berpegang teguh kepada Kode etik Jurnalistik, berita apa pun sesungguhnya mengandung fungsi yang mencerahkan bagi publik pembaca. Jika kita nukilkan pasal pertama saja, sebagai referensi, akan kita temuai bunyi Kode Etik Jurnalistik yang paling utam adalah “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk’. Di sini, dibawakan ke kasus korupsi, tentunya media yang bekerja secara profesional akan selalu memastikan berita apa pun, termasuk kasus korupsi, merupakan berita yang akurat, berimbang dan semata-mata beritikad positif mencerahkan publik.

Di negeri tercinta kita. Sumatera Barat, akhir akhir ini, tersebutlah dua kasus korupsi yang menyita perhatian. Kedua kasus itu marak diberitakan media, baik media konversional maupun digital. Yang pertama, kasus korupsi ganti rugi lahan tol Sumbar-Riau. Yang kedua, kasus dugaan korupsi pembangunan gedung budaya Sumbar.

Berdasarkan perkembangan terkini di berbagai pemberitaan media, untuk kasus korupsi ganti rugi lahan tol, kasusnya sudah sampai di tahapan sidang. Ada sebanyak 13 tersangka yang kni mesti menjalani proses sidang di pengadilan negeri Padang. Terakhir, di berita sekitar 10 hari menjelang Lebaran, kita simak eksepsi dari pengacara atas hasil audit BPKP (kompas.com, 21/4/22).

Sementara untuk dugaan kasus korupsi pembangunan gedung budaya Sumatra Barat, kasus ini bermula dari mangkraknya pembangunan hingga menjadi temuan di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Setelah menjadi temuan, DPRD Sumbar membentuk Panitia Khusus (Pansus) Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK tersebut. Setelah itu, kasus tersebut masuk ke ranah hukum dan diselidiki hingga disidik tim Kejari Padang. Lantas, sepanjang bulan April lalu kita simak keseriusan pihak Kejaksaan Negeri Padang dalam memeriksa secara maraton berbagai saksi untuk dimintai keterangannya (kompas.com, 14/4/22). Total, per-14 April telah 11 orang saksi – yang menurut berita yang bisa dibaca publik – diperiksa oleh Kejaksaan Negeri Padang.

Menyimak perkembangan tersebut, tentunya di satu sisi patut kita apresiasi. Kasus korupsi apapun dan di mana pun, serta dalam bentuk apa pun, tentu mesti diusut tuntas sampai ke akar akarnya. Apalagi yang berkaitan dengan kepentingan umum, semisal jalan tol dan gedung kebudayaan. Keduanya memiliki fungsi sosial kemasyarakatan yang tinggi. Jalan tol Sumbar Riau, sebagai akses mendekatkan jarak antar dua provinsi, memiliki nilai ekonomis yang maat tinggi bagi masa depan Sumbar dan Riau.

Secara geografis, bisa dikatakan pula, perantau Minang yang terdekat itu bermukin di Riau. Secara kultural, budaya Minang dan Melayu Riau juga bagaikan pinang dibelah dua, jika tidak bisa dikatakan kembar. Terlebih lagi, tol Sumbar Riau sudah sejak lama prosesi ground-breaking-nya oleh Presiden Jokowi, yaitu 8 Februari 2018. Namun anehnya, belum juga selesai, terutama ruas tol yang di Sumbar. Meski banyak pejabat Sumbar merekam isu bahwa penyebab ‘mangkrak’nya mega-proyek ini disebabkan (salah satunya) oleh korupsi, namun tentu publik akan susah dilarang untuk (mau tidak mau) berpikiran ke arah logika tersebut. Intinya, mari kita dorong bersama proses persidangan kasus korupsi ini, sembari tetap berharap agar pembangunan jalan tol yang sangat strategis ini berjalan dan memiliki ‘progress’  hari ke hari.

Sementara itu, khusus gedung kebudayaan Sumbar, tentu tak kalah strategis dan urgen bagi rakyat Sumbar. Sudah lama kita merindukan sarana dan prasarana yang representatif dan sesuai dengan tuntutan zaman era milenial yang khusus memfasilitasi gerak dan pertumbuhan kreativitas bidaya di provinsi ini. Sumatra Barat, yang secara kultural ditulang-punggungi oleh adat dan budaya Minang sehari dulu memiliki ‘tambang emas’ yang tiada habis-habisnya di bidang seni-budaya.

Kita berharap, di gedung kebudayaan yang kabarnya memiliki spot, ruangan, aula dan labotarium seni itu menjadi katalisator perkembangan ide dan mahakarya seniman dan budayawan Minang. Mangkraknya gedung yang kabarnya menelan dana tidak sedikit itu jangan sampai menyurutkan gairah kita dalam kembali menggelorakan Padang sebagai salah satu ‘pusek jalo’ kebudayaan di Sumatra Barat.

Menjembatani harapan itu, sebagaimana tesis Smilov (2006), seluruh elemen mesti tetap kritis dan menyimak perkembangan kasus korupsi, detik ke detik. Mengawal kasus korupsi yang hadir di Sumatra Barat sejatinya sama dengan menyelamatkan masa depan Sumatra Barat ke depan. Jaringan pentahelix, di mana setiap elemen berperan secara optimal di garis fungsi dan tugasnya masing-masing, diharapkan bisa menjadi senjata ampuh menciptakan kondisi yang retrospektif.

Bukan hanya penegak hukum, seperti BPK, Kejaksaan, Kepolisian dan KPK yang mesti ‘dibiarkan’ berjalan sendiri-sendiri. Adalah juga tugas para pendidik, mulai dari sekolah, kampus, rumha-rumah ibadah (di mana para da’i dan pendakwah lintas agama banya berperan), tokoh masyarakat, media dan Lembaga Swadaya Masyarakat untuk peduli pada proses hukum korupsi Sumbar, demi Sumbar yang lebih cerdas dan bermartabat. (*)

Selengkapnya dapat diunduh disini