PADANG, HALUAN – Menjaga aset daerah tidak boleh mengabaikan kepentingan investor. Investor memiliki peran penting dalam mengerakkan perekonimian daerah, menciptakan lapangan kerja. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi, termasuk memberikan kepastian hukum, kebijakan yang mengguntungkan, dan fasilitas penunjang.
“Pemerintah dan pemangku kepentingan harus bekerja sama untuk melindungi aset daerah, memastikan pemanfaatan yang berkelanjutan, dan menciptakan iklim investasi yang kondusif. Dengan demikian, kita dapat membangun daerah yang maju, berdaya saing, dan memberikan kesejahteraan bagi semua pihak,” ujar Guru Besar Ekonomi Pembangunan Universitas Andalas (UNAND) Prof Dr. Syafaruddin Karimi SE., MA, menanggapi soal gonjang ganjing Novotel Bukittinggi.
Prof Sayfaruddin Karimi juga menilai, polemik yang terjadi di penghujung jangka waktu kerja sama investasi BOT Pemprov Sumbar dengan pengelola Novotel tidak akan mempengaruhi kondusivitas iklim investasi Sumbar ke depannya.
Mengingat hukum potensi investasi itu, kata Prof Syafaruddin, agar Sumbar bisa menjadi daerah tujuan investasi, Pemprov Sumbar harus berpikir untuk meningkatkan kualitas regulasi yang baik serta menciptakan infrastruktur penunjang investasi yang mumpuni.
“Infrastruktur yang baik ini tidak boleh diabaikan, jangan sampai ada daerah yang punya potensi besar tapi regulasinya justru buruk. Jika seperti ini investor pasti akan berpikir dua kali untuk berinvestasi,” ucapnya.
Ia menjelaskan, regulasi yang buruk bukan saja soal perizinan usaha yang rumit dan berbelit. Namun lebih dari itu, minimnya penegakan hukum terhadap pelaku Pungutan Liar (Pungli) juga merupakan cerminan dari buruknya kaulitas regulasi. “Ini penyakit bagi iklim investasi kita, masih sering ditemukan adanya pungutan atau uang takut kepada oknum tertentu, jalan sedikit bayar, bongkar barang sedikit bayar. Jadi, pemerintah harus bisa menjamin keamanan investor dengan tidak ada pungli,” jelasnya.
Selain menjamin keamanan, lanjutnya, pemerintah daerah, terutama Sumbar saat ini harus mulai mencermati kualitas kebijakan. Dalam artian, tidak boleh ada regulasi yang berbeda antara suatu daerah dengan yang lainnya,”Untuk mencipatakan iklim investasi yang baik ini Sumbar harus memiliki regulasi yang terintegrasi dan terpadu, termasuk dalah hal upah tenaga kerja dan infrastruktur, jika kedua hal ini bisa dipenuhi, insyaallah Sumbar dengan potensinya bisa dilirik investor,” tutupnya.
Prof Syafaruddin juga mengajukan tiga alterlatif opsi pengelolaan Novotel Bukittinggi usai berakhirnya perjanjian kerja sama investasi mekanismie Built Operate Transfer (BOT) PT Grahamas Citra Wisata dengan Pemprov Sumbar akhir bulan Agustus 2024 mendatang.
Prof Syafaruddin Karimi menyebut, tiga opsi alternatif pengelolaan aset milik Pemprov Sumbar yang berada di lokasi strategis premium tersebut, diantaranya adalah mendirikan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pengelola. Disewakan kepada pihak ketiga, hingga skema perjanjian Sharing Omset.
“Novotel berdiri di lokasi strategis yang premium. Mengapa Pemprov tidak berpikir untuk mendirikan BUMD saja. Pasti banyak putra asli Minang yang sanggup bahkan ahli mengelola hotel,” ujarnya kepada Haluan Senin (23/5) kemarin.
Jika memang Pemprov Sumbar berpikir untuk mendirikan suatu BUMD yang akan bertanggung jawab untuk mengelola bangunan hotel bintang empat peninggalan Novotel itu, satu hal yang harus dipastikan, kata Prof Syafaruddin, mereka yang pengelolanya adalah orang-orang yang profesional dan ahli dalam bidang pengelalaan serta manajemen perhotelan.
“Namun sayangnya, sampai saat ini belum ada satupun sejarah pendirian BUMD di Sumbar yang membuat kita benar-benar yakin bahwa hotel itu akan bisa memberikan keuntungan ekonomi bagi Sumbar,” ucap ekonom senior Sumbar itu.
Sementara terkait dengan opsi aset peninggalan Novotel itu akan disewakan kepada pihak ketiga, menurut Prof Syafaruddin Karimi opsi itu cukup realistis. Sebab menurutnya, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, teknologi manajemen pengelolaan aset yang dilakukan oleh pihak swasta, terbilang lebih efisien dan optimal dibandingkan dengan pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah atau bahkan BUMD sekalipun.
Kendati demikian, apabila aset peninggalan Novotel harus disewakan kepada pihak ketiga, ia meminta agar perjanjian kerja sama yang akan dibuat harus mutlak tetap menguntungkan Pemprov Sumbar. Sebab menurutnya, pengelolaan aset milik daerah, mesti diiringi oleh semangat memberikan yang terbaik bagi daerah.
“Mekanisme sharing omset pertahun mungkin juga bisa ditetapkan. Dalam mekanisme ini, keuntungan yang diterima daerah dihitung dari jumlah tamu yang menginap atau total revenue. Artinya, apapun keadaannya Pemprov tidak akan pernah rugi,” jelasnya.
Pada mekanisme sharing omzet ini, kata Prof Syafaruddin Karimi, penyusutan atau kerugian akan dibebankan kepada pihak ketiga, sehingga akan lebih aneh lagi jika dalam mekanisme kerja sama seperti ini Pemprov masih tetap merugi. “Jika tetap merugi maka adagium bahwa orang Minang adalah pebisnis atau entrepreuneurship ulung perlu dipertanyakan ;agi,” jelasnya
Aset Pemprov Hanya Tanah
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Rosail mengaku menyanyangkan polemik terkait keuntungan yang diterima Pemprov dari Novotel, yang baru-baru ini mencuat. Polemik itu semakin melebar, menurut Rosail, lantaran kekurangan mengertian masyarakat bahkan termasuk pemangku kepentingan sendiri.
“Informasi yang beredar seolah-oleh seluruh aset Novotel itu milik Pemprov. Padahal kan yang punya Pemprov cuma tanah saja. Bangunannya kan milik PT Grahamas Citrawisata Tbk. Kalau seluruh Novotel itu milik Pemprov, maka keuntungan sebesar Rp 300 juta pertahun yang diterima Pemprov itu wajar dibilang kecil. Tapi kan tidak begitu konsepnya,” kata Rosail.
Dalam perjanjian kerja sama BOT tersebut, PT Grahamas Citrawisata Tbk membayarkan imbalan kerja sama berupa fixed lease RP40 juta per tahun dengan eskalasi 10 persen setiap lima tahun dan pembayaran di setiap akhir tahun operasi. Apabila PT Grahamas Citrawisata Tbk mengalami kerugian, maka Pemprov Sumbar tetap menerima imbalan Rp40 juta per tahun, dan jika kerja sama berakhir maka tanah dan bangunan akan diserahkan kepada Pemprov Sumbar dalam keadaan baik.
Dalam perjalanannya, dilakukan adendum perjanjian akta Nomor 120-9/USB-2010 dan Nomor 025/Gc/IX/2010 pada 30 September 2010 antara Pemprov Sumbar dengan PT Grahamas Citrawisata Tbk dan disepakati keuntungan bersih setelah diaudit akuntan publik dibagi 20 persen untuk Pemprov Sumbar dan 80 persen untuk perusahaan atau Rp200 juta harus diterima Pemprov sumbar apabila minimal 20 persen lebih kecil dari Rp 200 juta.
Penyetoran tersebut dilakukan sejak akhir tahun 2010 hingga saat ini dan baru tahun lalu meningkat menjadi Rp300 juta. Jumlah inilah yang kemudian menjadi polemik, lantaran dinilai kelewatan kecil.
Padahal, menurut Rosail, keuntungan Rp 300 juta yang diterima Pemprov tersebut sudah naik sekian ratus persen jika dibandingkan dengan perjanjian awal pada tahun 19990.
“Tapi di sisi lain kan pemerintah tetap berusaha. Pemprov selalu meminta kenaikan kontribusi. Nah, terakhir kami juga sudah minta kepada PT Grahamas Citrawisata untuk tahun terakhir ini ada peningkatan konstribusi yang lebih dari Novotel. Sampai sekarang belum ada jawaban dari pihak Pt Grahamas Citrawisata,” tuturnya.
Siap Buka-Bukaan untuk Pansus
Sementara itu, PT Grahamas Citrawisata Tbk selalu investor pengelolaan Novotel Bukittinggi angkat bicara terkait pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Novotel yang digulirkan DPRD Sumbar jelang berakhirnya jangka waktu perjanjian investasi mekanisme Built Operational Transfer (BOT) Novotel dan Pemprov Sumbar akhir Agustus 2024 mendatang.
Presiden Direktur (Presdir) PT Grahamas Citrawisata Tbk, Firdaus HB, menegaskan, pihaknya akan bersikap kooperatif serta mendukung penuh pembentukan Pansus guna memberikan penjelasan seterang-terangnya kepada semua pihak terkait gonjang-ganjing isu pengelolaan Novotel yang belakangan ini makin senter terdengar.
“Seperti yang telah pernah PT Grahamas sampaikan saat RDP dengan Komisi III yang diperluas lalu, kami mendukung adanya Pansus agar semuanya menjadi jelas bagi Pemerintah, DPRD, Pemprov serta masyarakat. Bagi kami tidak ada masalah, silahkan saja BPK memeriksa laporan keuangan kami,” ujarnya kepada Haluan Selasa (23/5) kemarin.
Firdaus menjelaskan, sebagai satu-satunya investor BOT yang dimiliki Pemprov Sumbar sejak tahun 1990 hingga sekarang, PT Grahamas masih tetap dengan pendiriannya untuk menunaikan segala kewajiban kepada Pemprov Sumbar. Bahkan menurutnya, sampai detik inipun PT Grahamas tidak pernah menerima satu pun keluhan kinerja dari Pemprov Sumbar.
“PT Grahamas juga tidak pernah mereka yasa laporan pajak. Pajak yang kami bayarkan selalu berdasarkan data real. Bahwa ada muncul dalam laporan kerugian, hal itu disebabkan karena adanya penyusutan dan beban hutang,” terangnya.
Secara tegas Firdaus menjelaskan, sebagai hotel yang dikelola langsung oleh brand operatot internasional, Novotel tidak mungkin berani “Nakal” melakulan rekayasa jumlah tamu yang menginap. Begitupun dengan merekayasa laporan pajak yang sudah pasti tidak akan mungkin berani dilakukan oleh operator hotel internasional bintang empat sekelas Novotel.
“Setiap tamu yang menginap di Novotel tercatat by data by system. Jumlahnya terkoneksi langsung dengan server dan tidak ada satupun yang meleset. Sebab tidak mungkin brand operator internasional sekelas Novotel berani mempertaruhkan nama besarnya dengan main-main melakukan rekayasa pajak. Jadi, kalau ada tuduhan seperti itu tidaklah benar,” ucapnya.
Ia menambahkan, sejak pertama kali polemik seputar pengelolaan Novotel ini muncul ke permukaan, PT Grahamas telah bersikap kooperatif dengan memenuhi undangan yang dilayangkan oleh DPRD Sumbar. Sikap kooperatif itu, bahkan juga telah ditunjukkan PT Grahamas dengan menyerahkan setiap dokumen laporan keuangan yang diminta DPRD Sumbar ketika itu.
Sikap PT Citra kooperatif dan mau bekerja sama dalam rangka memberikan kontribusi terbaik bagi Sumbar. Bahkan selama ini juga telah terbukti dengan disetujuinya dua kali adendum penambahan nilai kerja sama pertahun yang diajukan Pemprov Sumbar.
Dimana menurutnya, ketika pada tahun 1990 perjanjian investasi BOT itu diteken ,pada awalnya PT Grahamas hanya diwajibkan untuk memberikan Rp40 juta pertahun kepada Pemprov Sumbar. Namun, dalam perjalannya, ketika Gubernur Sumbar dijabat Irwan Prayitno (IP), nilai kerja sama itu kembali diminta dinaikkan menjadi Rp200 juta.
“Ketika ada permintaan kenaikan nilai kerjasama di zaman Bapak IP ini, PT Grahamas setuju, lalu di zaman Buya Mahyeldi ini masih dirasa kurang, sehingga naik lagi menjadi Rp300 juta. Jadi artinya, selaku invester PT Grahamas ini selalu bersikap penurut,” ucapnya.
Padahal, kata Firdaus, untuk mempertahankan bisnis pengelolaan Novotel hingga bisa menjadi seperti sekarang pun, PT Grahamas selaku investor Novotel telah mengalami pasang surut bisnis yang tidak mudah. Ajaibnya, Novotel masih bisa bertahan sekalipun sempat hampir kolaps lantaran dihantam badai krisis moneter di tahun 1998.
“Ketika tahun 1998 terjadi krisis, dollar yang tadinya 2 ribu naik menjadi 15 ribu. Kita selaku investor lah menanggung semua kerugian itu. Bahkan perusahaan hampir pailit. Kemudian usai Tsunami Aceh 2004 okupasi hotel jadi turun, lalu terjadi lagi kabut asap, bahkan gempa bumi yang membuat hotel jadi sepi,” jelasnya.
Namun ajaibnya, kata Firdaus, di tengah terjangan badai bisnis yang luar biasa bertubi-tubi itu sampai saat ini bisnis pengelolaan Novotel masih tetap bertahan tanpa pernah menggunakan satu sepersenpun uang dari kantong pemerintah.
“Lalu tahun 2024 nanti aset Novotel yang bagus dengan perpaduan arsitektur Maroko dan Sumatera Barat itu akan sepenuhnya menjadi aset Pemprov. Jika nilainya saat ini Rp 150 miliar berarti kan sama saja Rp 5 miliar kami setorkan kepada pemerintah,” ucapnya menjelaskan betapa beruntungnya Sumbar memiliki Novotel.
Ia berharap, hendaknya Pemprov Sumbar bisa lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi persoalan yang berpotensi mengganggu kondusifitas iklim investasi di Kota Bukittinggi yang selama ini telah terbangun dengan baik.
Sebab menurutnya, jangan sampai dengan adanya kehebohan yang tiba-tiba muncul menjelang berakhirnya jangka waktu perjanjian BOT ini, investor akan menilai bahwa kejadian ini merupakan cerminan betapa sulitnya berinvestasi di Sumbar.
“Saya berpesan kepada DPRD, Pemprov, pandai-pandai lah menyelesaikan masalah ini. Jangan sampai investor melihat betapa rumitnya berinvestasi di Sumbar. Jika itu terjadi, maka akan semakin jauhlah panggang dari api, tidak akan mau lagi investor masuk Sumbar,” pesannya. (fzi/dan)
Selengkapnya unduh disini