PADANG, HALUAN – Berdasarkan data Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Sumbar, sebanyak 68 unit aset milik Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Pemprov Sumbar) menganggur (idle). Sebagian besar aset idle tersebut didominasi oleh aset tanah dan bangunan yang tak terpakai dan termanfaatkan.
Total nilai aset Pemprov Sumbar secara keseluruhan mencapai Rp17,4 triliun. Aset-aset tersebut berdiri dari tanah dengan nilai buku Rp2,3 triliun; peralatan dan mesin dengan nilai buku Rp532 miliar; gedung dan bangunan dengan nilai buku Rp3,2 triliun; jalan, irigasi, dan jaringan dengan nilai buku Rp1,8 triliun; konstruksi dalam pengerjaan dengan nilai buku Rp1,02 triliun; aset tak berwujud dengan nilai buku Rp1,4 miliar; serta aset tetap lainnya dengan nilai buku Rp67,2 miliar. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 0,01 persen atau sebanyak 68 unit aset, yang sebagian besar berupa tanah dan bangunan, yang menganggur.
Aset idle sendiri merupakan Barang Milik Daerah (BMD) berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintah daerah (pemda). Lantaran tidak digunakan sesuai tugas dan fungsinya, maka BMD idle berpotensi tinggi menimbulkan penyalahgunaan, pemborosan, dan/atau kerugian negara.
Adapun aset idle Pemprov Sumbar tersebut dengan rincian aset milik Biro Umum sebanyak 5 unit, BPBD sebanyak 2 unit, Dinas Kebudayaan sebanyak 1 unit, Dinas Kehutanan sebanyak 19 unit, Dinas Kelautan dan Perikanan sebanyak 3 unit, Diskominfotik sebanyak 3 unit, Dinas Perhubungan sebanyak 7 unit, Disperindag sebanyak 8 unit, dan Dinas Perkimtan sebanyak 2 unit.
Berikutnya, Dinas BMCKTR sebanyak 3 unit, Dinas Sosial sebanyak 3 unit, Disnakertrans sebanyak 2 unit, Distanhorbun sebanyak 2 unit, Dinas PSDA sebanyak 1 unit, Dinas Kesehatan 2 unit, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan sebanyak 2 unit, serta satu unit bangunan tempat tinggal dalam keadaan kosong.
Rosail menuturkan, pihaknya telah menyiapkan sejumlah strategi agar aset-aset idle tersebut bisa dimanfaatkan secara optimal, yang pada giliranya akan ikut mendongkrak pendapatan daerah.
Pertama, melakukan inventarisasi secara menyeluruh. Kedua, menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi pada aset. Ketiga, menyusun skema pengelolaan aset. “Ada beberapa opsi pengelolaan aset yang bisa dilakukan. Bisa jadi dimanfaatkan sendiri untuk kepentingan pemerintah provinsi. Misalnya, untuk pembangunan kantor-kantor OPD. Atau bisa juga dikerjasamakan dengan pihak ketiga. Atau dihibahkan kepada pemerintah kabupaten/kota,” ujarnya.
Saat ini total ada 35 unit bangunan yang dikerjasamakan melalui skema pinjam pakai dengan pemerintah kabupaten/kota maupun instansi vertikal dan BUMN/BUMD. Rosail menjelaskan, setidaknya ada empat skema kerja sama pengelolaan aset daerah.
Pertama, skema pinjam pakai, yang merupakan kerja sama anatara pemerintah dengan pemerintah, seperti pengelolaan GOR H. Agus Salim yang sebelumnya dipinnjampakaikan oleh Pemprov Sumbaar kepada Pemko Padang. Kedua, sewa aset, seperti Gedung Rohana Kudus yang disewakan Pemprov Sumbar ke pihak koperasi. Ketiga, skema Bangun Serah Guna (BSG), seperti konsep pengelolaan Novotel Bukittinggi. Terakhir, kerja sama pengelolaan. “Jadi, sebenarnya kerja sama pengelolaan aset daerah itu sudah lumrah. Kalau pemerintah daerahnya tidak sanggup mengelola sendiri, bisa dikerjsamakan dengan pihak lain,” ujarnya.
Ia mengatakan seluruh upaya pemaksimalan aset idle tersebut akan dilakukan secara paralel dan bertahap. Menurutnya, persoalan aset tidak bisa diselesaikan secara instan. Terlebih bagi aset-aset yang bermasalah, entah karena telah ditempati pihak lain atau karena belum jelasnya status kepemilikan aset yang bersangkutan.
Lebih jauh ia menyebut, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 47 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pembukuan, Investarisasi, dan Barang Milik Daerah (BMD) disebutkan bahwa penyelesaian masalah aset adalah pengguna aset, dalam hal ini, OPD bersangkutan.
Hanya saja, OPD terkait tidak menyadari bahwa tugas untuk pengamanan aset adalah tupoksi mereka. Karena bagaimanapun, itu aset mereka sendiri. Ironisnya, ada OPD yang bahkan tidak tahu kalau asetnya sudah diserobot orang.
BPKAD sebagai pengelola, ucapnya, bertugas menjadi “polisi lalu lintas” yang mengatur jalannya penggunaan aset. Sederhananya, OPD terkait sebagai pengelola aset. Apabila OPD tersebut tak lagi membutuhkan dan menggunakan aset tersebut, OPD bisa mengembalikan aset itu kepada BPKAD sebagai pengelola. Selanjutnya, BPKAD-lah yang mengatur mau diapakan aset tersebut.
Ia menjelaskan, investarisasi aset juga sesungguhnya menjadi tugas OPD bersangkutan. Merekalah yang menyampaikan kepada BPKAD jika ada aset milik mereka yang bermasalah. Dari situlah tugas BPKAD mencari solusi. Selain memberikan solusi, pihaknya juga memberikan sosialisasi dan pelatihan pengelolaan aset bagi OPD-OPD.
Ia menjelaskan, aset merupakan bagian dari laporan keuangan yang diaudit setiap tahun. “Jadi, OPD-OPD dituntut melakukan pencatatan atau investarisasi yang tepat sampai pada pengamanan aset. Itu diaudit, salah satunya oleh BPK. Alhamdulillah, berdasarkan audit BPK pada 2022, kami meraih Opini WTP,” ujar Rosali. (h/dan)
Selengkapnya unduh disini