DPR Kritik Sikap BPK Terkait Utang Pemerintah

JAKARTA, HALUAN – Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan mengeritik tajam sikap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mendua atas persoalan utang pemerintah. Di satu sisi BPK memberikan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan pemerintah, di sisi lain mengkhawatirkan kemampuan pemerintah membayar utang.

Dalam keterangan persnya, Rabu (23/6), Hergun sapaan akrab Heri Gunawan mengatakan, penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara. Ini memang sangat mengkhawatirkan. Namun ironis, kata dia, BPK malah menghadiahi WTP bagi pemerintah.

“Ini kan, aneh. BPK memberi penilaian WTP, namun di sisi lain mengkhawtirkan utang pemerintah. Rakyat jadi bingung atas sikap mendua BPK,” kata Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Gerindra di Komisi XI itu.

Sikap mendua itu diketahui saat Ketua BPK Agung Firman Sampurna berpidato di hadapan Rapat Paripurna DPR dengan menyebut indikator kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan International Debt Relief (IDR).

Sepanjang tahun 2020, utang pemerintah sudah mencapai Rp6.074,56 truiliun. Posisi utang ini meningkat pesat dibandingkan akhir tahun 2019 yang tercatat Rp4.778 triliun.

Dijelaskan Hergun, rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen. Angkanya melampaui rekomendasi IMF pada rentang 25-35 persen. Begitu juga pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen.

“Kemudian, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen,” ujarnya.

Selain itu, sepanjang tahun 2020, pendapatan negara dan hibah mencapai Rp1.647,78 triliun atau 96,93 persen dari anggaran. Sedangkan realisasi belanjanya mencapai Rp 2.595,48 triliun atau 94,75 persen. Dengan demikian, fiskal mengalami defisit sebesar Rp947,70 triliun atau sekitar 6,14 persen dari PDB.

“Memang pandemi Covid-19 telah meningkatkan defisit, utang, dan SiLPA yang berdampak pada pengelolaan fiskal. Namun, sebaiknya BPK juga perlu melihat UU Nomor 2 Tahun 2020 sebagai dasar hukum pembekakan defisit tersebut,” ucap Hergun.

Legislator Dapil Jawa Barat IV ini menyayangkan BPK hanya menyebut Perpres Nomor 72 dan UU Keuangan Negara. Pada hal, kedua aturan tersebut terkait dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang sudah ditetapkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. (h/dpr)

Selengkapnya unduh disini