Besaran dana desa cenderung fantastis. Potensi penyalahgunaan, dan kesalahan program juga jadi besar. Hal seperti itu yang menggiring wali nagari dalam dugaan tipikor. Ada permendes untuk pengelolaan, tapi itu belum cukup. Upaya meningkatkan kapasitas dalam pengelolaan harus bertubi-tubi. Sebab, dana desa itu hajat besar bangsa. Bukan semata soal UU Desa, tapi Amanat Konstitusi dan terkait Nawacita ketiga.
Solok Selatan-Haluan
Indikasi terjadinya praktik penyalahgunaan dana desa (dana nagari.red) kembali terjadi di Sumbar. Jika sebelumnya Kejari Solok menetapkan wali nagari (walnag) Talang Babungo, Kabupaten Solok, sebagai tersangka. Kali ini, giliran Walnag Lubug Gadang Utara (LGU) Kabupaten Solok Selatan diperiksa sebagai saksi. Pakar hukum menilai, terlalu dini mengaitkan penyalahgunaan dana desa dengan celah-celah pada UU Desa. Namun, upaya peningkatan kapasitas dalam pengelolaannya harus “dikeroyok”.
Koordinator Konsultan Pendamping Wilayah Program Pemberdayaan masyarakat desa (KPW-P3MD) Wilayah II Sumbar, Feri Irawan menyebutkan, sejauh ini terdapat beberapa kasus dugaan penyelewengan dana desa di Sumbar. Akan tetapi, sebagian masih dalam tahap penanganan di level Aparat Pengawasan Intern Pemerintahan (APIP), dan sebagian lain memang sudah naik ke tingkat penanganan Aparat Penegak Hukum (APH).
“Untuk yang sudah sampai penanganannya di APH atau ligitasi, itu tidak sampai sepuluh. Diantaranya di Kabupaten Solok itu seperti di Talang Babungo. Ganggo Mudiak di Pasaman. LGU Kabupaten Solsel. Selebihnya ada beberapa di tangan APIP atau non ligitasi, tapi itu juga tidak sampai sepuluh, dan ada yang tidak terkait dengan dana desa,” kata Feri kepada Haluan, Kamis (8/8)
Feri menyebutkan, pembedaan penanganan tersebut didasari pada perbuatan yang diduga menimbulkan penyalahgunaan atau kesalahkelolaan dana nagari. Jika praktik tesebut masih pada level administrasi, dapat dapat ditangani terlebih dulu oleh APIP seperti inspektorat dan sebagainya. Jika dalam perjalanannya mengarah ke praktik yang lebih dari sekedar administrasi, maka APIP membuat rekomendasi selama 60 hari sebelum kasus dilanjutkan oleh APH atau secara ligitasi.
“Kecuali untuk Operasi Tangkap Tangan (OTT) penyelewengan. Itu langsung APH yang bekerja, serta kepolisian, kejaksaan, atau APH lain. Itu berdasarkan kesepakatan yang telah terjalin antara Mendes, Mendagri, dan Polri,” kata Feri lagi.
Feri menyebutkan, dari fakta lapangan, modus penyalahgunaan yang kerap terjadi selama ini adalah terkait proses pengadaan barang dan jasa, SiLPA yang salah digunakan, kewajiban setoran pajak yang tidak disetorkan, atau hak-hak aparatur yang tidak ditunaikan. “Kami mengimbau ini agar lebih hati-hati dalam pengelolaannya. Upaya pencegahan dan pembinaan terus ditingkatkan untuk ini,” ucapnya lagi.
Butuh sosialisasi bertubi-tubi
Sementara itu, pakar hukum tata negara yang juga rektor Universitas Ekasakti Padang, Otong Rosadi menilai, terlalu dini untuk mengaitkan antara praktik penyelewengan dana desa dengan celah yang perlu diperbaiki di dalam Undang-Undang (UU) desa. Selain belum ada kajian komprehensif tentang penyelewengan yang disebabkan UU Desa.
“Saya melihat, dana desa itu besarannya memang bagi sebagian perangkat di nagari cenderung fantastis. Jadi, karena itu potensi terjadinya penyalahgunaan dan kesalahan program sehingga terjadi penyaluran tidak tepat sasaran, itu menjadi sangat besar. Tiga faktor itu saja saya lihat,” kata Otong.
Kemudian ketiga hal itulah, sambung Otong , yang sangat mungkin mengggiring seorang kepala desa atau wali nagari atau perangkat nagari dalam dugaan tindak pidana korupsi (tipikor). Sementara di satu sisi sebenarnya Kemendes telah menyiapkan perangkat aturan mau pun permendes untuk penyusunan program, penatakelolaan, pendampingan, dan sebagainya. “Namun ingat, itu belum cukup. Makanya perlu “dikeroyok ramai-ramai”. Artinya, semua potensi di tengah masyarakat harus disegerakan untuk ikut mengawal dana desa itu,” sebut Otong.
Otong juga mempertegas, bahwa pengawasan dana desa bukan semata soal APH yang menemukan atau menerima laporan terkait dugaan penyalahgunaan. Akan tetapi, sedari awal semua pihak harus terlibat dalam pengawalannya. Seperti Pemda yang juga harus giat mensosialisasikan aturan, meskipun program tersebut adalah program kementerian. Selain itu, perguruan tinggi dengan mahasiswanya, serta masyarakat, juga harus terus memperkaya pengetahuan terkait pengelolaan dana desa, sembari teap melakukan pengawasan.
“Perangkat desa atau nagari itu selalu berubah. Ada yang baru dilantik dua hari atau dua bulan lalu. Makanya sosialisasi harus terus menerus. Seluruh kekuatan di nagari harus mendorong pengawalan. Lebih penting lagi, harus ada upaya bertubi-tubi dalam peningkatan kapasitas perangkat nagari dalam pengelolaan dana desa. Sebab, dana desa itu program besar bangsa. Hajat besar bangsa. Bukan semata soal UU Desa, tapi Amanat Konstitusi yang juga jadi Nawacita ketiga,” ucap Otong menutup.
Walnag LGU Diperiksa
Sementara itu, terkait pemeriksaan dirinya sebagai saksi dalam dugaan penyalahgunaan dana desa yang sudah masuk dalam tahap penyidikan di kepolisian, Wali Nagari Lubuk Gadang Utara (LGU) berinisial SR mengaku bakal kooperatif, taat hukum, dan membantu aparat dalam upaya penegakan hukum.
“Saya bersedia harta saya diaudit oleh pihak manapun. Jika hal itu diperlukan untuk proses penegakan hukum. Harta saya tidak banyak. Tidak akan memakan waktu lama jika diperiksa. Hanya ada yang tampak saja. Tidak ada mobil. Tidak ada rekening yang buncit. Hanya rumah tempat tinggal saja,” kata SR kepada Haluan.
SR juga menyampaikan, kasus yang tengah diperiksa adalah terkait anggaran Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) pada tahun 2016. Saat itu, ia baru mengaku baru menjabat wali nagari. Ia pun mengaku telah menjelaskan apa yang ia ketahui tentang DD dan ADD tersebut kepada penyidik saat memberikan keterangan sebagai saksi.
“Ada satu proyek jalan nagari di Jorong Bariang Kampuang Dalam tahun 2016, itu tidak selesai. Akibatnya, kami terkena sanksi administratif dan harus mengembailkan uang ke negara. Jumlahnya Rp58 juta lebih. Ini bukti setoran uang itu ke bank,” kata SR sambil menujukkan bukti setoran yang dimaksud, dengan struk merek Bank Nagari tertanggal 9 November 2017.
“Jalan itu akhirnya dituntaskan pengerjaannya pada 2017. Ada serah terimanya dengan masyarakat. Selaku pimpinan di nagari, saya sudah berupaya maksimal. Pertanggungjawaban saya ke masyarakat, ke negara, dan ke Tuhan. Rasanya sudah saya lakukan,” katanya lagi.
Sebelumnya, tim penyidik Tipikor Polres Solsel menyebutkan, jika status kasus tersebut telah dinaikkan dari Penyelidikan ke Penyidikan. “Iya, statusnya sudah naik ke penyidikan (sidik),” kata Kasat Reskrim Polres Solsel, AKP Mochammad Rosidi , didampingi Kanit Tipikor, Bripka Ahmad Arfan Senin (5/8).
Bahkan, imbuhnya, tim Tipikor Polres Solsel telah mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Solsel. “Untuk menetukan jumlah kerugian negara, saat ini tengah proses audit dengan BPK RI Perwakilan Sumbar. Sejauh ini, telah diperiksa sejumlah saksi dan mengumpulkan bukti-bukti. Kami terus dalami,” kata Rosidi lagi.
Sementara itu, pihak Kejaksaan Negeri Solsel mengaku juga telah menerima perkembangan kasus terakhir dari Polres Solsel. Kasi Pidsus Kejari Solsel, R. Khiarul Sukri mengatakan, pihaknya akan terus berkoordinasi dengan penyidik Polres Solsel. “Sementara, tentu kita harus menunggu perkembangan,” katanya.
Walnag Talang Baungo Ditahan
Sebelumnya, Kejari Solok menetapkan Walnag Talang Babungo, Kecamatan Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok, Zulfatriadi, sebagai tersangka atas dugaaan penyelewengan (korupsi) dana desa/ nagari. Saat ini, Zulfatriadi telah mendekam di sel tahanan sementara Lapas Klas IIB Solok, Rabu (24/7) lalu.
Pelaksana Harian (Plh) Kepala Kejari (Kajari) Solok, Muhammad Anshar Wahyudin, kepada Haluan mengatakan, awalnya wali nagari tersebut diperiksa sebagai saksi, namun dalam proses pemeriksaan statusnya ditingkatkan menjadi tersangka. Kasus dugaan korupsi itu sendiriterjadi pada 2018, di mana saat itu Nagari Talang babungo tengah melaksanakan sembilan item pembangunan dengan menggunakan dana nagari.
Namun dari sembilan item itu, kata Muhammad Anshar, hanya enam item pembangunan yang dituntaskan. Sedangkan dua item laninnya tidak dikerjakan, dan satu pembangunan berhenti di tengah jalan. “Atas perbuatan itu, negara mengalami kerugian sekitar Rp800 juta,” katanya, Rabu (24/7).
Dana anggaran nagari yang telah ditarik oleh tersangka tersebut, sambung Anshar, diduga digunakan untuk kepentingan pribadi. “Uang itu ditarik, tapi tidak sesuai dengan SPJ. Ada beberapa kegiatan pembangunan yang tidak terlaksana, padahal sudah dianggarkan,” tambah Kasi Pidsus Kejari Solok, Wahyudi Kuoso.
Atas perbuatannya, tersangka Zulfatriadi bakal dijerat Pasal 2 Ayat 1 Jo Pasal 18 Ayat 1 huruf b, ayat 2 dan 3 Undang-Undang RI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. (h/isq/jef)