LAPORAN dari DPRD Sumbar ke KPK dapat menjadi informasi awal bagi KPK untuk menindaklanjuti dugaan kasus korupsi yang ada di Sumbar. Terutama sekali dugaan penyelewengan dana penanganan Covid-19. Jangan didiamkan. Harus doprioritaskan.
CHARLES SIMABURA
Akademisi Unand/Anggota Koalisi Masyarakat Antikorupsi Sumbar.
PADANG,HALUAN- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membenarkan telah menerima laporan terkait kasus dugaan penyelewengan anggaran penanganan Covid-19 pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumatera Barat. Juru bicara KPK Ali Fikri menyatakan, pihaknya akan menindaklanjuti laporan tersebut.
Sebelumnya pada 24 Mei 2021, tercatat enam legislator DPRD Sumbar mengajukan laporan terkait dugaan penyelewengan dana Covid-19 sebesar Rp.7,63 miliar ke KPK yang menjadi temuan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Sumbar. Temuan itu melengkapi temuan sebelumnya seniali Rp.4,9 miliiar yang saat ini tengah diproses oleh Polda Sumbar.
“Terkait laporan pengaduan tersebut, setelah kami cek, informasi yang kami terima benar telah diterima KPK. KPK akan memastikan akan menindaklanjuti laporan masyarakat dengan melakukan verifikasi dan telaahan lebih dahulu terhadap laporan yang dimaksud,” ujar Ali Fikri kepada Haluan terkait laporan dugaan penyelewengan Rp. 7,63 miliar,Rabu (26/5).
Ali Fikri menyatakan, KPK harus mengkaji terlebih dahulu temuan tersebut, terutama dalam melihat kewenangan lembaga antirasuah itu pada kasus dana Covid-19 di Sumbar. Serta,lanjutnya, mendalami apakah pengaduan tersebut sudah sesuai dengan Undang-Undang (UU) yang berlaku, dan untuk memastikan kasus tersebut layak masuk ke ranah pidana korupsi.
“Tentu akan ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum yang berlaku jika menjadi kewenangan KPK. Perkembangan akan diinformasikan lebih lanjut,” ujarnya lagi.
Sementara itu, salah satu anggota Koalisi Masyarakat Antikorupsi Sumbar, Charles Simabura mengatakan, laporan dari DPRD Sumbar ke KPK dapat menjadi informasi awal bagi KPK untuk menindaklanjuti kasus korupsi yang ada di Sumbar. Terutama sekali dalam dugaan penyelewengan dana penanganan Covid-19. Ia pun mendesak KPK merespons cepat.
“Ini bisa dijadikan dasar bagi KPK untuk menelusuri lebih lanjut. Jangan didiamkan. Ini harus diprioritaskan, karena ini menyangkut penanggulangan dana Covid-19,” kata Charles kepada Haluan,Rabu (26/5).
Selain itu, sambung Charles, salah satu tugas KPK adalah melakukan supervisi mulai dari perencanaan,penggunaan dan belanja, termasuk pada penggunaan dana penanggulangan pandemi yang dilakukan pemerintah.
Oleh karena itu, Akademisi Universitas Andalas (Unand) itu menegaskan, koalisi masyarakat juga meminta KPK untuk menyupervisi penanganan perkara yang tengah dilakukan oleh Polda Sumbar. Ia menilai, KPK seharusnya memonitoring perkembangan kasus dengan datang atau menyurati lembaga hukum terkait untuk menanyakan perkembangan kasus tersebut.
“Tapi tugas ini saya kira tidak dilakukan KPK karena sampai hari ini seperti yang diketahui, tidak ada perkembangan yang signifikan dari kasus dugaan penyelewengan dana Covid-19 berjumlah Rp.4,9 miliar yang tengah ditangani Polda itu,” katanya lagi.
Mestinya, sambung Charles, jika kerja Polda berjalan di tempat, Kejaksaan juga dapat turun tangan dan bertanya ke pihak Polda terkait kendala yang membuat pengusutan berjalan lamban. Jika Polda kesulitan melakukan pendalaman, maka Kejaksaan seharusnya bisa mengambil alih tugas.
Termasuk juga KPK, sambung Charles, bisa mengambil kasus dana Covid-19 ini jika memang terjadi kemacetan. Sebab, laporan penyelewengan dana dari enam anggota DPRD serta kasus penyelewengan yang tengah diusut oleh Polda, diduga dilakukan oleh oknum pelaku yang sama, maka sudah sangat relevan bagi KPK untuk mengambil alih kasus ini.
Charles berharap, agar anggota DPRD yang melaporkan ke KPK juga dapat mendorong mekanisme di lembaga itu juga bisa berjalan. Termasuk dengan mempertanyakan ke Pemerintah Provinsi Sumbar terkait tindak lanjut atas rekomendasi BPK dan Pansus DPRD Sumbar beberapa waktu lalu.
“Mereka dapat menggunakan wewenang kelembagaannya, melalui instrumen pengawasan bisa lewat interpelasi, atau hak angket untuk menanyakan ke Pemprov sudah sejauh mana mereka menindaklanjuti rekomendasi yang sudah diberikan. Tentu ini perlu dilakukan untuk menjaga muruah DPRD di hadapan publik. Syarat untuk mengajukan interpelasi itu minimal ada 10 anggota, kemarin sudah ada enam,tinggal nambah empat lagi,” katanya menutup.
DPRD Melapor ke KPK
Sebelumnya, enam anggota DPRD Sumbar membuat laporan ke KPK RI terkait dugaan penyelewengan dana penanganan Covid-19 di senilai Rp.7,63 miliar oleh BPBD Sumbar. Mereka antara lain, Hidayat dan Evi Yandri dari Fraksi Gerindra, Albert Hendra Lukman dan Syamsul Bahri dari Fraksi PDI Perjuangan,serta Nurnas dan Nofrizon dan Fraksi Partai Demokrat.
Dalam laporannya, Hidayat dkk melaporkan sejumlah pejabat dilingkungan Pemprov Sumbar yang terkait dalam temuan BPK Perwakilan Sumbar atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Sumbar tahun 2020, dengan temuan penggunaan anggran yang tidak sesuai ketentuan sebesar Rp.7,63 miliar. Objek aduan kali ini disebut berbeda dengan dugaan penyelewengan dana Covid-19 senilai Rp.4,9 miliar yang tengah diusut Polda Sumbar.
“Yang kami minta ke KPK adalahpengusutan atas Laporan LKPD terhadap temuan pengadaan barang untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp.7,6 miliar lebih. Ini bukan perkara temuan BPK sebesar Rp. 4,9 miliar yang sedang ditangani Polda Sumbar,” ujar Hidayat, Senin (24/5).
Hidayat menjelaskan, dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Sumbar ditemukan pengadaan barang untuk penganganan Covid-19 pada BPBD Sumbar yang tidak sesuai ketentuan sebesar Rp.7,631 miliar. Ia merinci terdapat dugaan mark up pengadaan hamzat suit (APD Premium) sebanyak 21.000 buah dengan harga Rp. 375.000 per APD dengan total anggaran sebesar Rp 7,875 miliar.
Kemudian lanjut Hidayat, dugaan pemahalan dalam pengadaan masker bedah sebanyak 4.000 kotak, pengadaan alat Rapid Test senilai Rp.275.000 per unitdengan total kontrak sebesar Rp.2,750 miliar.dugaan mark up atau pemahalan dalam pengadaan surgical gown atau pakaian medis sebanyak 15.000 buah dengan harga satuan Rp.125.000 dan total nilai kontrak Rp.1,875 miliar.
“Menurut hemat kami, bahwa permasalahan yang menyebabkan pengadaan barang untuk penanganan Covid-19 pada BPBD Sumbar yang tidak sesuai dengan ketentuan dan berpotensi merugikan keuangan daerah. Harapan kami,ini dapat diproses secara hukum pleh penyidik KPK,” ujarnya lagi.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Evi Yandri, bahwa KPK harus turun tangandalam menyelidiki dugaan korupsi di Sumbar, agar bisa memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang berniat melakukan korupsi, terutama yang berkaitan dengan dana penanganan pandemi saat ini masih terjadi.
“Besar harapan kami, melalui pemeriksaan dan penindakan hukum yang dilakukan KPK, akan timbul efek jera dan menjadi peringatan keras bagi yang berniat melakukan tindak pidana korupsi. Sehingga, kejadian serupa tidak lagi terjadi, terutama dilingkungan Pemerintahan Daerah Sumbar,” ujarnya.
Menurut Evi, temuan BPK terkait penggunaan anggaran yang tidak sesuai itu sangat memukul rasa keadilan sosial masyarakat yang masih terdampak secara sosial dan ekonomi oleh Pandemi Covid-19. Hal ini katanya akan berpotensi memicu ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah terkait upaya pengadilan pandemi. (h/mg-rga/len)
Selengkapnya unduh disini