PADANG, HALUAN – Keputusan Kepolisian Sumatra Barat menghentikan penyidikan kasus dugaan penyelewengan anggaran Covid-19 pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar menuai sorotan. Pakar hukum hingga Koalisi Masyarakat Sipil Sumatra Barat menilai masih terdapat opsi pasal lain untuk mengusut temuan BPK RI tersebut.
Pakar Hukum Pidana Universitas Andalas (Unand) Prof Elwi Danil menyebutkan, terdapat pasal lain dalam Undang-undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang bisa dijadikan pedoman dalam mengusut kasus pemahalan dalam pengadaan handsanitizer tersebut. Seperti dugaan unsur suap menyuap, grafitikasi, dan lain-lain.
“Ada pasal lain dalam UU Tipikor yang mestinya bisa digunakan dalam penyidikan kasus ini, seperti unsur suap menyuap, grafitikasi, dan lain-lain. Namun, apakah Polda Sumbar menggunakan pasal lain untuk kasus ini atau tidak, tentu Polda yang menentukan,” ujar Elwi kepada Haluan ,Kamis (24/6).
Menurutnya Elwi, dengan diusutnya kasus tersebut dengan pasal lain, maka kasus pemahalan ini tidak serta merta dapat dihentikan dengan adanya pengembalian uang ke kas negara. Sebab, dalam pada Pasal 4 UU Tipikor dibunyikan, bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghilangkan proses pemidanaan.
Namun, tambah Elwi, jika dalam kasus ini Polda hanya berpedoman pada Pasal 2 dan 3 Tipikor, maka memang penyidik dapat memutuskan untuk menghentikan penyidikan setelah adanya pengembalian uang ke kas negara. Ditambah lagi, dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang mengubah Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 menjadi delik materil.
“Dalan rumusan asli pembentukan UU Tipikor, yang dinilai sebagai kerugian keuangan negara sudah cukup jika ada potensi. Tapi, kemudian MK menilai tidak bisa menganggap hanya dari adanya potensi saja, tapi harus ada kerugian yang nyata. Sehingga, MK memaknai pasal 2 dan 3 itu sebagai delik materil atau timbulnya suatu akibat yang dilarang atau kerugian uang negara. Sekarang akibat itu sudah tidak ada lagi. Tentu tidak berpengaruh lagi,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Padang (LBH) Indira Suryani selaku perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar ikut mendorong agar Polda Sumbar tetap mengusut kasus pengadaan handsanitizer tersebut dengan menggunakan pasal UU Tipikor lainnya.
“Sebagaimana kita ketahui kasus korupsi dana Covid-19 dilakukan oleh pihak swasta yang melakukan pengadaan handsanitizer. Sehingga tak ada halangan bagi Polda Sumabr untuk melanjutkan proses penyidikan walaupun sudah ada yang dikembalikan dalam rentang waktu 60 hari pengembalian kerugian negara,” ujar Indira, Kamis (24/6), dalam konferensi pers dihadapan wartawan.
Indira menambahkan, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 menegaskan ketentuan 60 hari pengembalian kerugian negara tidak berlaku bagi terdakwa yang bukan pejabat. Artinya, kasus pemahalan pengadaan handsanitizer ini tidak harus dihentikan begitu saja.
Polda, kata Indira memahami bahwa Putusan MK Nomor 25 sebagai acuan dalam pemberhentian kasus tersebut, di mana tidak dibenarkan adalah potential loss berupa prediksi kerugian. Ada pun dalam kasus ini, kerugian keuangan negara sebesar 4,9 Miliar dari pengadaan handsanitizer yang merupakan actual loss.
Koalisi Masyarkat Sipil Sumbar, kata Indiria, juga meragukan bahwa dana dari hasil pemahalan harga yang mencapai Rp 4,9 miliar itu telah dikembalikan secara utuh dalam bentuk uang, “Alasan utama Polda Sumbar untuk menghentikan penyelidikan kasus ini karena pengembalian uang 4,9 miliar sehingga tidak terpenuhi Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31 Tahun 1999. namun masih banyak pasal lainnya yang bisa digunakan oleh Polda,” ujarnya lagi.
Dalam kesempatan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar juga meminta ketegasan dari Gubernur Sumbar Mahyeldi, terutama terkait komitmen perang melawan korupsi. Menurut Indira, jika kepala daerah memiliki perhatian khusus kepada pemberantas korupsi, mestinya pihak-pihak yang diduga terlibat dapat diberi sanksi tegas.
“Kalau memang gubernur sekarang concern dalam perang melawan korupsi, orang-orang yang terlibat ini harus dicopot. Kepala daerah harus memilih orang-orang yang berintegrasi kalau memang ingin menjadikan Sumbar ini bebas dari korupsi,” katanya. (h/mg-rga)
Selengkapnya unduh disini