Agam- Singgalang
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari, masih menjadi polemik bagi masyarakat di sejumlah nagari. Menyikapi hal ini, selain butuh revisi, persoalan ini harus segera disikapi oleh pemerintah kabupaten setempat dengan membuat perda agar peraturan tentang nagari ini bisa diterapkan dengan sempurna.
Hal itu dikatakan Wakil Ketua DPRD Sumbar Guspardi Gaus saat sosialisasi perda terkait, Sabtu (15/12) di Aula Kantor Camat Ampek Nagari, Agam. “Perda ini memang butuh revisi. Maka denagn adanya kegiatan ini, kita bisa menyampaikan sekaligus mendengar kritik dan saran terkait perda ini dari tokoh masyarakat yang hadir,” katanya.
Dia melihat bahwa munculnya persoalan atas lahirnya perda tersebut akibat beberapa hal yang ditetapkan di dalamnya yang masih menjadi perbincangan antar tokoh masyarakat dan kaum adat. Misalnya, peraturan yang ada di pasal 12 perda itu, yakni Kapalo nagari dipilih atau diangkat oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) berdasarkan musyawarah mufakat.
Tokoh adat dan masyarakat di kawasan Ampek Nagari ini pun, kata Guspardi, juga menyampaikan kritiknya terhadapnya adanya kelembagaan nagari bernama Peradilan Adat Nagari. Kata peradilan di kelembagaan ini dianggap terlalu keras, dan tidak biasa dengan sistem penyelesaian sengketa dalam adat Minangkabau.
“Ada tiga kelembagaan nagari yang diatur perda ini, yaitu Kerapatan Adat Nagari, Pemerintah Nagari, dan Peradilan Adat Nagari. Jadi, pada peraturan baru ini, KAN sama halnya seperti DPRD kalau di pemerintah provinsi. Masyarakatpun sepertinya masih asing mendengar kata peradilan ini,” kata pemilik Citra Swalayan ini.
Selain itu, terkait perda, pada kesempatan itu juga ada masukan dari tokoh masyarakat tentang masa jabatan Kapalo Nagari dan KAN yang ditetapkan selama enam tahun, dan dapat diangkat kembali untuk dua kali masa jabatan.
“Dengan adanya polemik ini kita minta pemkab masing-masing daerah di Sumbar bisa menyikapinya dengan arif dan bijak. Kesepakatan dalam peraturan yang dirumuskan lebih aspiratif dan mewakili suara masyarakatbawah,” katanya.
Memang diakui Guspardi, perda tentang nagari ini masih belum menyelesaikan masalah, karena perda ini masih payung hukum , dan makanya peraturan dari pemkab nantinya yang menyempurnakan perda itu hingga bisa berjalan baik.
Sementara itu, di tempat yang sama, Adrian Agus Dt. Kandio Marajo, Ketua KAN Bawan menilai, pada prinsipnya ia mengapresiasi adanya itikad baik dari pemerintah dalam berbenah dengan adanya peraturan daerah tentang nagari yang telah disusun. Namun menurutnya, harusnya mempererat hubungan antara adat dan pemerintahan, bukan membaurkan, tapi menselaraskan.
“Nagari spesifik dengan hukum adatnya, seharusnya nagari tidak disamakan dengan pemerintah terendah. Undang-Undang Nomor 6 tentang Desa sudah sangat baik. Yang mengherankan kami, kepnapa pemerintah terendah itu adalah nagari? Kenapa tidak desa atau sebutan lain? Sedangkan nagari itu sudah diatur dalam hukum adat. Artinya, saat nagari itu digeser , apapun bentuknya, hukum adatnya pasti tersenggol,” katanya.
Menurutnya, dengan adanya peraturan pemerintah terhadap nagari seharusnya memberi ruang bukan malah mempersempit keberadaan nagari dengan hukum adatnya. Misalnya saja tentang lembaga-lembaga yang disusun pada perda No.7 Tahun 2018 itu, menurutnya hal ini tidak bisa disamakan dengan hukum adat yang sudah turun temurun dianut. Pengertian di setiap daerah pun berbeda- beda tentang ketentuan pemangku jabatan dalam nagari.
“kami berharap, sebelum perda tentang nagari ini dilaksanakan, perlu direvisi. Yang kedua, menurut saya ini tidak nyambung. Perda Nomor 2 tahun 2007 mengakomodir pemerintah desa adat yang ada dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014,” pungkasnya.(wahyu)