14.997 Temuan BPK, Pengawasan Internal Lemah
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) resmi menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) pertama tahun 2017 kepada DPR kemarin (3/10). Dari laporan tersebut, potensi kerugian negara mencapai Rp 27 triliun.
Ada total 14.997 hasil temuan. Sebanyak 49 persen di antaranya adalah soal lemahnya pengawasan internal lembaga, baik pemerintah pusat maupun daerah. Sedangkan 50 persen lagi didominasi ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, dan 1 persen adalah soal tidak efisien, tidak efektif dan tidak hemat.
Dari total potensi kerugian negara tersebut, hanya 2 persen atau Rp 509 miliar yang kembali ke kas negara/daerah.
Meski demikian, wakil ketua BPK Bahrullah Akbar mengungkapkan bahwa jika secara prosentase, kerugian negara senilai Rp 27 triliun tersebut tidak terlalu besar. “Tapi bagaimanapun, dalam persoalan keuangan, kita mesti correct dan sempurna,” katanya.
Dengan diserahkannya laporan IHPS ini, Bahrullah berharap lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah segera bertindak untuk memperbaiki kinerja. Laporan dari BPK harus benar-benar dianalisis dan dijadikan acuan untuk perbaikan. “Di mana letak kesalahannya, kemudian langsung diperbaiki,” katanya.
Dari banyaknya temuan yang disebabkan oleh lemahnya pengawasan, Bahrullah meminta agar inspektorat daerah maupun kementerian dan lembaga (KL) untuk lebih serius menjalankan perannya.
Menurutnya, inspektorat juga harus dikontrol secara khusus “Kalau ada temuan, yang bertanggung jawab untuk menindaklanjuti ya inspektorat,” ungkapnya.
Sesuai aturan, ada sanksi administrasi untuk tiap temuan. Jika dirasa mencurigakan, maka akan ada tindakan lebih lanjut seperti pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) ataupun langsung ke penegak hukum. Tentang minimnya pengembalian ke kas negara, Bahrullah tidak mau banyak berkomentar. “Yang jelas begitulah kenyataannya, tidak dibuat-buat,” katanya.
Tentang tren opini dalam laporan keuangan, Kabiro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK, Yudi Ramdan Budiman mengungkapkan bahwa secara umum lembaga pemerintah sudah semakin baik dalam menyusun laporan keuangan. “Sudah 74 persen yang dapat WTP, ini sudah bagus,” kata Yudi.
Meski demikian, Yudi mengakui bahwa pemberian opini tidak menjamin sebuah laporan keuangan bebas dari masalah. Seperti contoh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) yang mendapatkan opini WTP namun kemudian akhirnya bermasalah. “Jadi pemeriksaan keuangan itu tidak untuk menilai kebenaran, tapi kewajaran,” katanya.
Yudi mengungkapkan bahwa BPK sudah merancang berbagai sistem untuk mencegah kolusi dalam proses audit. Termasuk mendeteksi dugaan korupsi. Dalam standar BPK, Auditor dituntut memiliki kepekaan terhadap indikasi-indikasi yang mengarah pada pidana. Selain itu, semuanya kembali pada integritas Auditor. “Sebagus apapun sistemnya, kalau manusianya bermasalah yang tetap ada kolusi,” ungkapnya.