PADANG, METRO – Sidang dugaan kasus perusakan hutan bakau (mangrove), di Kawasan Mandeh, Kecamatan Koto XI, Pesisir Selatan menyeret terdakwa Rusma Yul Anwar yang juga menjabat Wakil Bupati Pesisir Selatan kembali digelar di Pengadilan Negeri Kelas I A Padang, Selasa (29/10). Sang Wabup terlihat siap menghadapi kasus yang membelitnya.
Sidang yang beragendakan keterangan saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Cristian Erry pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Painan, menghadirkan dua orang saksi yakni, Kepala Dinas (Kadis) Penanaman Modal Terpadu Satu Pintu Kabupaten Pesisir Selatan Suardi, Kasi Penataan Ruang Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat Pessel Rifkaldi. Keduanya memberikan keterangan yang memberatkan Wabup.
Saksi Suardi menjelaskan, kawasan wisata pulau Mandeh termasuk ke dalam tata ruang. Ia juga melanjutkan, ketika dirinya sedang melakukan kunjungan kerja bersama Bupati Pessel Hendrajoni pada tahun 2017 lalu, dia melihat terdapat bangunan.
“Waktu itu saya melihat di lokasi tersebut terdapat seperti dermaga, tiga kotek (cottage), satu bangunan rumah.” ujarnya saat memberikan keterangan di depan majelis hakim yang diketuai Gutiarso didampingi hakim anggota Agus Komarudin dan Asharullah.
Dia menuturkan, pembangunan tersebut tidak memiliki izin.
“Saya tidak tahu siapa pemiliknya bahkan sampai hari ini saya pun tidak tahu. Namun berdasarkan informasi yang berkembang pembangunan tersebut milik Pak Rusma Yul Anwar,” jelasnya. Saksi juga menjelaskan bahwa, Rusma belum pernah datang kepada saksi untuk mengurus izinnya.
Hal serupa dikatakan saksi lainnya Rifkaldi. Dijelaskannya, di lokasi tersebut terdapat bangunan permanen namun itu tidak ada izinnya.
Dalam jalannya persidangan majelis hakim memerintahkan kepada JPU untuk melihatkan barang bukti. Adapun barang bukti yang dilihatkan adalah dokumen berbentuk foto udara.
Rusma Yul Anwar yang didampingi PH Poniman bersama tim, tidak keberatan atas keberatan para saksi. Sidang kembali dlanjutkan 7 November 2019 medatang. Sebelum sidang ditutup, JPU berencana akan memanggil tiga orang saksi pada persidangan berikutnya.
Sebelumnya dalam dakwaan JPU dijelaskan, kejadian ini bermula pada Mei tahun 2016 hingga 2017. Terdakwa membeli sebidang tanah pada seluas tiga hektare, 2016. Dua bulan kemudian dimulailah pembangunan di kasawan Mandeh dan pelebaran jalan serta perairan laut, dari satu meter menjadi empat meter, panjangnya sekitar 30 meter.
Terdakwa telah memerintahkan seseorang untuk meratakan bukit, dengan tujuan pendirian penginapan. Terdapat dua lokasi perusakan mangrove.
Pertama ukuran 12 x 75 meter. Dan kedua dengan ukuran panjang 75 x 12 meter, pada bukit yang diratakan yang telah berdiri empat bangunan.
Di lokasi tersebut, sudah dibuat fasilitas jalan dan pembangunan perumahan. Dimana aktivitas berdampak dan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan. Berdasarkan data lapangan dan citra satelit, kerusakan yang ditimbulkan yakninya matinya mangrove saat pelebaran sungai, seluas 3.029 meter atau luas 0,3 hektare.
Pelebaran sungai dititik lain mengakibatkan rusaknya hutan. Kemudian hutan mangrove ditimbun tanah seluas 0,39 meter. Sehingga total luas hutan mangrove yang rusak sekitar 7.900 ataut 0,79 hektare.
Terdakwa melakukan kegiatan tanpa izin lingkungan di areal perbukitan. Dimulai dari pembukaan lahan, pembuatan jalan menuju bukit, serta pemerataan bukit. Perbuatan terdakwa melanggar pasal 98 UU RI No 32 tahun 2009, tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Pasal 109 UU RI Nomor 32 tahun 2009, tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (cr1)