Padang,– Opini Wajar Tanpa Pengecualiaan (WTP) yang diberikan BPK kepada entitas pemeriksaan tidak memberikan garansi suatu daerah bebas dari praktik korupsi. Mengapa demikian?
“Karena pemeriksaan BPK tidak didesain secara khusus untuk menemukan dugaan korupsi. Audit laporan keuangan hanya ditujukan untuk menilai kewajaran penyajian laporan keuangan pemerintah daerah,” ujar Kepala Subauditorat Sumbar I Indria Syzinia ketika menerima kunjungan wartawan Tabloid Zaman di Kantor BPK Perwakilan Provinsi Sumbar, Selasa, (19/9).
Dalam proses pemeriksaan, terdapat empat kriteria yang diberlakukan terhadap laporan keuangan pemerintah daerah yaitu kesesuaian standar laporan keuangan dengan standar akuntansi pemerintah (SAP), kecukupan bukti, sistem pengendalian internal, dan ketaatan pada peraturan perundang-undangan.
Kemudian dari empat kriteria tersebut jika terdapat temuan pemeriksaan maka akan dirumuskan kembali apakah temuan tersebut material atau tidak yang dapat mempengaruhi opini pemeriksaan.
“Jika pemeriksaan kemudian menemukan tidak ada bukti atas penggunaan anggaran negara maka dapat dijadikan indikasi awal telah terjadi penyimpangan. Kemudian dilihat lagi apakah penyimpangan tersebut nilainya dapat mempengaruhi opini atau tidak,” tambah Indria.
Menurut Indria, pemeriksaan tidak bisa menjangkau atas praktik-praktik kolusi yang dilakukan untuk tujuan tertentu yang dapat merugikan negara dan tidak menggunakan uang negara. Pemeriksaan BPK prinsipnya hanya mengikuti kemana uang negara mengalir.
Indria lebih lanjut menjelaskan bahwa terdapat empat opini BPK yang dapat diberikan kepada entitas pemeriksaan yaitu Wajar Tanpa Pengecualiaan (WTP), Wajar Dengan Pengecualiaan (WDP), Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau Disclaimer, dan Tidak Wajar (TW).
Opini WTP diberikan dengan kriteria sistem pengendalian internal memadai dan tidak ada salah saji yang material atas pos-pos laporan keuangan dan sesuai dengan SAP.
Opini WDP diberikan dengan kriteria sistem pengendalian internal memadai namun terdapat salah saji yang material pada beberapa pos laporan keuangan.
Opini TMP diberikan BPK apabila terdapat suatu nilai yang secara material tidak dapat diyakini pemeriksa karena ada pembatasan lingkup pemeriksaan oleh manajemen sehingga pemeriksa tidak cukup bukti atau sistem pengendalian internal yang sangat lemah.
“Dalam kondisi demikian pemeriksa tidak dapat menilai kewajaran laporan keuangan. Misalnya pemeriksa tidak diperbolehkan meminta data-data terkait penjualan atau data-data aset tetap. Jika tidak terdapat datanya maka pemeriksa tidak bisa memberikan penilaian atas laporan keuangan itu,” tegas Indria.
Kemudian opini TW diberikan BPK jika sistem pengendalian internal tidak memadai dan terdapat salah saji pada banyak pos laporan keuangan yang sangat material. Laporan keuangan tidak disajikan secara wajar sesuai dengan SAP.
Sehingga pada akhirnya opini yang diberikan oleh BPK bukan semata untuk tujuan mencari gengsi tetapi merupakan amanah undang-undang terhadap laporan keuangan yang memang harus diperiksa kepada BPK.
“Jika kemudian hasil pemeriksaan menemukan adanya praktik kecurangan maka bukan tugas BPK untuk menilainya melanggar hukum atau tidak. Tetapi sudah masuk pada ranah aparat penegak hukum,” kata Indria.
Indria juga mengklarifikasi atas tuduhan pemeriksa menerima imbalan uang atau barang saat melakukan pemeriksaan. Menurutnya pemeriksa tidak diperkenankan untuk menerima imbalan dalam bentuk apa pun.
Menurut Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2016 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan Pasal 7 Ayat 2C menyebutkan bahwa Pemeriksa BPK dilarang meminta dan/atau menerima uang, barang, dan/atau fasilitas lainnya baik langsung maupun tidak langsung dari pihak terkait dengan pemeriksaan.
“Jika ada pemeriksa BPK yang melanggar kode etik tersebut, langsung laporkan saja ke BPK baik lisan maupun tertulis,” tegas Indria mengakhiri wawancaranya.