Padang, Padek – Sidang pra peradilan terkait dugaan kasus korupsi pengadaan sapi bunting di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnakkeswan) Sumbar digelar di Pengadilan Negeri kelas 1A Padang, kemarin. Sidang tersebut mendengarkan keterangan saksi ahli dari Fakultas Hukum Unand Elwi Danil.
Pada kesempatan itu ia menjelaskan pra peradilan sebuah lembaga kontrol yang memberikan upaya perlindungan terhadap hak-hak tersangka.
Di dalam KUHP pra peradilan adalah kewenangan pengadilan untuk memutus sah atau tidkanya penangkapan, penahanan, penyelidikan, dan sebuah perkara.
Dia menyebut, MA dalam putusannya memberikan pemaknaan dalam pra peradilan lebih luar dari pasal 77 KUHP. “ Pra peradilan juga memiliki kewenangan untuk menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan. Terkait apa yang saudara pemohon sampaikan di dalam KUHP sudah diatur sedemikian rupa. Kapan seserang dapat jadi tersangka? Apabila seseorang itu karena perbuatannya berdasarkan bukti pembukaan patut diduga sebagai pelaku sebuah perbuatan pidana, jadi untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka dibutuhkan bukti pembukaan,” katanya, Rabu (9/8).
Dalam KUHP Pasal 184, terangnya, diatur tentang alat bukti yang sah dengan lima kategori. Yakni keterangan saksi, keterangan ahli, bukti surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Secara teori dan praktik sebuah alat bukti dikatakan sah apabila bisa dilihat dari dua sisi. Pertama aspek formal dimana cara mendapatkan alat bukti tersebut. Dalam undang-undang juga diatur bagaimana prosedur mendapatkan alat bukti. Jika alat bukti didapatkan dengan cara yang tidak formal maka alat bukti tersebut dikatakan tidak sah.
Kemudian, terkait dengan alat bukti dikatakan sah juga harus melihat secara materil. Harus dilihat dari sifat dan karakteristik alat bukti itu sendiri. “Bahwa sifat alat bukti tersebut di dalam UU disebutkan mereka yang disebut saksi adalah mereka melihat dan mengetahui sendiri suatu tindak pi-dana. Sehingga testimoni diawal tersebut orang yang mendapatkan informasi dari orang lain tidak bisa dikategorikan sebagai saksi,” ucapnya.
Menurutnya, saksi dalam kasus korupsi tidak bisa disamakan dengan terlapor. Dalam KUHP tidak ada yang namanya istilah terlapor. Namun sepanjang pengamatan dan pemahamannya, istilah terlapor muncul dalam praktek penegakkan hukum, terutama sekali sejak munculnya putusan MA yang berkaitan dengan SPDP, wajib diberitahukan kepada penuntut umum dan terlapor serta dan pelapor korban.
“Karena tidak ada yang eksplisit mengatur dalam KUHP terkait apa yang disebut dengan terlapor maka ada kecenderungan untuk memaknai terlapor sesuai dengan masing-masing pihak. Ada yang memaknai dengan apa yang ada di dalam KUHP bahwa laporan itu adalah pemberitahuan teradap penengak hukun karena terjadinya peristiwa pidana
Esensi SPDP
Pada kesempatan itu Elwi Danil juga menerangkan, dalam sebuah proses penegakan hukum SPDP merupakan sebuah konsep dan pengertian yang lahir dari ketentuan KUHP yang menunjukkan penyidik harus memberitahukan kepada penuntut umum tentang dimulainya penyidikan. “Surat yang digunakan oleh penyidik untuk penegakkan hukum yaitu kepada penuntut umum itulah yang disebut dengan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan). Namun esensi dari SPDP adalah semacam mekanisme kontrol yang dapat dilakukan sesama aparat penegakhukum dalam rangka sistem peradilan pidana terpadu. Dimana penyidik telah memberitahukan kepada penuntut umum bahwasa ia telah memulai penyidikan terhadap sebuah perkara. Dengan demikian, ada sebuah koordinasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum seperti yang diterapkan dalam sistem pidana terpadu,” ungkapnya.
Dengan penerbitan SPDP, tambahnya, penyidik berutang satu kasus kepada Penuntut Umum. Sehingga setiap saat Penuntut Umum dapat menagih mana perkara yang sedang diproses. Sehingga menjadi mekanisme kontrol antara penyidik dengan Penuntut Umum.
Elwi Danil mengatakan, esensi yang sesungguhnya dari SPDP sendiri adalah mekanisme kontrol. Akan tetapi dapat dikaitkan dengan hak-hakyang dimiliki seorang tersangka. Antara lain hak untuk membela diri sehingga dengan demikian tidak ada salahnya juga SPDP diberitahukan kepada si terlapor. Sehingga terlapor pun dapat mempersiapkan segala sesuatu untuk kepentingan pembelaan diri.
Penyampaian SPDP terhadap sebuah kasus yang terjadi pada sebuah dinas, kemudian disampaikan ke kepala dinas dengan jumlah terlapor hingga puluhan orang, menurutnya hal tersebut hanyalah sebuah persoalan teknis. “Apa yang dilakukan penyidik dengan memberitahukannya kepada kepala dinas atau institusi yang ada kaitannya dengan perkara yang sedang diproses merupakan sebuah langkah produktif dalam mempercepat proses pemeriksaan,” katanya.
Dia menekankan, SPDP wajib disampaiakan dalam waktu tujuh hari sejak sidik dimulai. Jika tidak akan berakibat kepada proses pemeriksaaan terhadap orang-orang yang dimintai keterangan. Baik sebagai saksi ataupun terdakwa.
Elwi Danil pun memberikan tanggapan atas pertanyaan Penasehat Hukum terkait penyidikan yang dimulai 6 Juli 2022 dan SPDP diterima 18 Juli 2023. Dimana penyidikan sudah dimulai terlebih dahulu sebelum SPDP diberikan.
“Ini tentu tidak bisa memenuhi maksud dari SPDP. Karena SPDP disampaikan dalam tempo tujuh hari surat perintah penyidikan itu dikeluarkan. Jika melewati batas waktu tentu menyalahi prosedural. Keputusan MK menurut saya merupakan bagian dari koreksi terhadap praktek penegakan hukum yang ada selama ini,” ucapnya.
Dia juga menjelaskan terkait seberapa pentingnya gelaran perkara sebagai sarana untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Dalam KUHP, sebutnya, tidak dikenal apa yang disebut dengan gelar perkara. Itu merupakan istilah teknis yang digunakan penegak hukum dalam menilai apakah sebuah perkara untuk menetapkan tersangka, penyidik memiliki posisi hukum yang kuat.
“Oleh karena itu logikanya adalah gelar perkara harus dilakukan sebelum seseorang diungkapkan sebagai tersangka. Namun dalam praktik tidak jarang ditemukan orang yang ditetapkan sebagai tersangka baru melaksanakan gelar perkara. Jadi gelar perkara tersebut dilihat sebagai kekuatan yang dimiliki oleh penegak hukum ketika perkara tersebut akan dilimpahkan ke pengadilan,” jelasnya.
Saksi Duku, Baru Tersangka
Dia menyampaikan, seyogyanya seseorang ditetapkan terlebih dahulu sebagai saksi setelah itu baru tersangka. “Kalau boleh saya menilai dalam praktik-praktik yang banyak dalam perkara korupsi, tenggang waktu penetapan seseorang menjadi tersangka dari saksi memiliki waktu yang cukup untuk dirinya mempersiapkan diri. Pada paginya ia diperiksa sebagai saksi dan pada hari itu juga ia ditetapkan sebagai tersangka, saya tidak bisa memberikan tanggapan terkait hal tersebut, apakah penyidik memiliki landasan terkait itu. Tapi bila dikaitkan dengan logika suatu perakara saya kira kebiasan atau praktik tersebut tidak sesuai dengan apa yang terkait,” ungkapnya.
Panggilan seseorang sebagai tersangka, katanya, merupakan sebuah ketentuan prosedural yang ada dalam KUHP. Namun ketika tidak ada panggilan, hal tersebut menjadi persoalan hukum yang patut diuji dalam persidangan pra peradilan. “Minimal ketika ia diperiksa sebagai saksi. Kemudian setelah ia diperiksa sebagai saksi ada ruang atau waktu untuk diskusi sebelum ditetapkan statusnya sebagai tersangka. Itupun harus disampaikan dengan adanya pemberitahuan,” ucapnya.
Selain itu Elwi Danil mengatakan, hasil pemeriksaan institusi yang diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan yang seyogyanya dokumen tersebut digunakan untuk menilai oleh aparat penegak hukum ada atau tidaknya kerugian dalam keuangan negara.
Ia mengatakan persolan kewenangan kerugian negara pernah menjadi sebuah polemik dalam praktik tentang siapa yang memiliki kewenangan untuk menghitung ada atau tidaknya kerugian negara. Sebelumnya ada keberatan yang dilayangkan ke MA terkait kewenangan KPK untuk melakukan pemeriksaan terhadap kerugian keuangan negara. Lalu pada saat itu keluar keputusan MA yang berhak melakukan hal tersebut adalah BPK, KPK, Inspektorat.
“Namun kata KPK sebagai penyidik tentu juga berwenang. Ditengah adanya polemik seperti itu MA mengeluarkan sebuah surat edaran bahwasanya yang berwenang adalah BPK. Disamping itu, terkait kerugian keuangan negara dapat dilakukan satuan pemeriksa internal,” ucapnya.
Terkait adanya pemeriksaan dari Kejaksan meski sudah ada pemeriksaan dari Inspektorat, Elwi Danil menerangkan, seharusnya penegak hukum menggunakan hasil audit investigatif yang dilakukan Inspektorat. “Dalam salah satu pedoman yang dikeluarkan BPK, audit investigatif adalah proses mencari, menemukan dan menganalisis bukti-bukti secara sistematis oleh pihak yang kompeten dan independent. Ini untuk mengungkapkan fakta dan kejadian sebenarnya tentang indikasi tindak pidana korupsi atau tujuan spesifiklainnya,” paparnya.
Dari keterangan itu auditor tersebut harus independen. Paling tidak, sambungnya, dari keterangan tersebut lembaga-lembaga yang independen sifatnya. Kecuali dalam prakter yang kerugian keuangan negaranya tidak rumit. Seperti pengadaan barang dan jasa itu tidak perlu diaduit. Kejaksaan dapat memeriksa sebagai penyidik. Jika perkara-perkara tersebut complicated dan rumit maka seyogyanya jaksa meminta kepada insitiusi pemerintah untuk melakukan audit investigasi dan bukan mengaudit sendiri demikian meletakan posisinya tidak independen,” tuturnya. (y)
Selengkapnya unduh disini