Penggunaan Dana PEN Baru Sentuh 41 Persen

JAKARTA, HALUAN – Realisasi penggunaan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) oleh pemerintah baru mencapai Rp305,5 triliun pada Juli 2021, atau 41 persen dari total pagu Rp744,75 triliun. Sementara itu di Sumbar, hingga 2 Juli 2021, realisasi belanja lewat program PEN sudah mencapai Rp2,24 triliun.

Keterangan itu disampaikan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam konferensi pers virtual, Snein (2/8). Ia merincikan, realisasi terdiri dari penggunaan dana untuk program kesehatan sebesar Rp65,5 triliun dari pagu Rp214,95 triliun. Lalu, realisasi untuk program perlindungan sosial sebesar Rp91,84 triliun dari pagu Rp187,84 triliun.

Kemudian, realisasi dana dukungan UMKM dan korporasi senilai Rp52,43 triliun dari pagu Rp171,77 triliun. Selanjutnya, realisasi dana program prioritas Rp47 triliun dari Rp117,94 triliun. Terakhir, realisasi program insentif usaha Rp43,35 triliun dari pagu Rp62,83 triliun.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan anggaran PEN sekitar Rp55,21 triliun dari Rp699,43 triliun menjadi Rp744,75 triliun. Penambahan sengaja dilakukan untuk mengantisipasi dampak dari kebijakan PPKM Level 4.

Sementara itu di Sumbar, Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan (DJPb) Provinsi Sumbar mencatat, realisasi belanja lewat program PEN sudah mencapai Rp2,24 triliun pada 2 Juli lalu. Kepala Kanwil DJPb Sumbar Heru Pudyo Nugroho mengatakan, capaian itu sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam mengoptimalkan momentum pemulihan ekonomi dengan tetap mewaspadai risiko Covid-19.

“Tentunya kita akan senantiasa mengawal APBN dengan terus melakukan upaya dan sinergi dengan stakeholders untuk mendorong percepatan belanja K/L serta penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Dana Desa. Realisasi PEN di Sumbar terbilang sudah cukup bagus, dan tentunya kita berharap dengan program PEN ini, ekonomi bisa stabil dan membaik,” kata Heru pertengahan Juli lalu.

Heru menjelaskan, realisasi PEN dengan nilai Rp2,24 triliun itu bisa dilihat dari sejumlah klaster atau sasaran dari program PEN. Seperti klaster perlindungan sosial yang teralisasi Rp1,09 triliun, yang terdiri atas Program Keluarga Harapan (PKH) Rp289,66 miliar untuk 185,353 Keluarga Penerima Manfaat (KPM), Bnatuan Pangan Nontunai (BPNT) Rp278,95 miliar untuk 212.152 KPM, Bantuan Sosial Tunai (BST) Rp207,07 miliar untuk 172.556 KPM, Kartu Prakerja Rp248,79 miliar untuk 70.081 orang, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa Rp72,46 miliar untuk 36.150 KPM.

“Ada pun untuk klaster kesehatan, Rp199,25 miliar untuk klaim pasien pada 54 rumah sakit dengan jumlah pasien sebanyak 3.028 orang,” ucap Heru.

Lamban karena Aturan

            Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menduga penyebab lambatnya serapan dana penanganan Covid-19 dan pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) oleh pemerintah disebabkan persoalan administrasi dan aturan teknis pada level kementerian.

Anggota VI BPK Harry Azhar Azis mengatakan, hendaknya setiap kementerian/lembaga (K/L) yang berkaitan dengan pencairan dana PEN membuat aturan teknis yang mendukung percepatan penyaluran. Hal ini seperti yang diintruksikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Perhatikan betul supaya rakyat bisa makan dan dana bisa masuk ke rakyat bagaimana caranya. Apa aturan yang dibolehkan dan tidak, kalau tidak ada aturannya, buat. Kalau aturan agak sulit, dipermudahkan kata Presiden begitu, dibuat pertanggungjawaban yang rasional sesuai dengan keadaan pandemi kita,” katanya, dikutip dari CNNIndonesia.com pekan lalu.

Harry Azhar mencontohkan, aturan teknis yang kerap kali membuat pencairan dana terkendala adalah kuitansi. Namun, dalam kondisi tertentu petugas di lapangan tidak bisa mendapatkan kuitansi sehingga pencairan terhambat.

Menurut Harry, kondisi seperti itu harus diatasi dengan aturan teknis yang bisa mengakomodasi dan mempermudah. Ia menegaskan aturan teknis tersebut berada pada level K/L yang bertanggung jawab atas pencairan dana.

“Alurnya anggaran sudah ditetapkan oleh DPR dan pemerintah, kemudian dilaksanakan ada aturannya sampai aturan teknis. Misalnya, kuitansi harus pakai kertas, berapa gram, dan sebagainya, kalau situasi bencana apakah harus ada Kartu Keluarga dan sebagaimana,” ucapnya.

Sayangnya, ia menilai respons pemerintah pada dana PEN masih terbilang business as usual atau pada seperti kondisi normal pada anggaran APBN pada umumnya. Ia melihat belum ada langkah atau kebijakan di luar kondisi normal (extraordinary) pada pencairan dana PEN.

“Jadi, tampaknya belum ada aturan yang mana anggaran PEN jelas sebetulnya sudah dialokasikan untuk ekonomi berapa, kesehatan, bantuan sosial berapa kan sudah dialokasikan. Nah itu tadi pola implementasi, tampaknya menurut sya masih ikuti pola anggaran normal,” tuturnya lagi.

Oleh karena itu, Harry mengaku tidak heran jika pencairan dana PEN pada semester I 2021 ini masih cukup rendah dari pagu yang ditetapkan Rp699,43 triliun. Kondisi itu serupa dengan realisasi dana belanja APBN normalnya yakini 10 persen-13 persen pada  kuartal I,II dan III.

“Nanti baru menumpuk di kuartal IV, November-Desember mau tutup buku, kalau tidak uangnya hangus masuk ke anggaran Silpa dan tidak bisa dipakai lagi, harus masuk lagi dalam APBN,” ujarnya lagi.

Untuk PEN 2021, ia menuturkan BPK belum mulai melakukan audit lantaran skema proses audit belum ditentukan. Sedangkan, untuk PEN 2020 BPK sudah memberikan hasil audit dengan sejumlah temuan sebagaimana telah dilaporkan sebelumnya.

“Untuk PEN 2021, kami belum putuskan. Kemarin kami putuskan pada bulan-bulan ini juga di 2020, sekarang kami belum putuskan apakah kami akan gabungkan dengan anggaran normla APBN atau kami akan buat pemeriksaan terpisah kembali,” ujarnya (h/isq)

Selengkapnya unduh disini