Padang-Haluan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Sumbar memastikan total kerugian negara dari kasus Surat Pertanggungjawaban (SPj) fiktif dengan terdakwa, Yusafni memang senilai Rp62,5 miliar. Nilai ini merupakan hasil investigasi oleh tim BPK RI.
Sebelumnya, Yusafni membantah kalau kerugian negara sampai Rp62,5 miliar. Pengakuannya, jumlah uang tersebut hanya sekitar Rp18 miliar. “Kalau boleh saya meminta BPK untuk menghitung lagi. Saya juga tidak mengerti bagaimana metode penghitungan oleh BPK sehingga hasilnya sebesar itu,” kata Yusafni saat di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Padang, Jumat (27/4).
Dijelaskan Yusani, dari Rp18 miliar tersebut untuk dirinya pribadi hanya sekitar Rp1,8 miliar. Sisanya uang tersebut dibagikan kepada sejumlah nama pejabat dengan jumlah yang berbeda. Uang tersebut diberikan rentang waktu 2013 hingga 2016. “Hanya sekitar Rp18 miliar, uang itu saya pergunakan untuk membeli sebidang tanah di Tegal, mobil dan angsuran eskavator yang saya rentalkan sudah tidak banyak lagi yang memakai, jadi saya mulai kesulitan dengan angsurannya,” terang Yusafni.
Menjawab hal itu, Kepala BPK RI Perwakilan Sumbar, Pemut Aryo Wibowo mengatakan, nilai Rp62,5 miliar itu merupakan nilai nyata dan pasti kerugian negara yang dicatat oleh BPK. Meski demikian kata Pemut, penetapan ini akan semakin kuat ketika juga ditetapkan di pengadilan. “Berdasarkan hasil investigasi PKN memang jumlahnya Rp62,5 miliar itu. Nilai itu sudah nyata dan pasti. Tidak akan berubah lagi, “ terang Pemut Aryo Wibowo ketika bersilaturahmi dengan Pemimpin Umum Harian Haluan, Zul Effendi di Kantor BPK RI Perwakilan Sumbar, Selasa (8/5) siang.
Dalam investigasi yang dilakukan BPK RI menggunakan metode penghitungan kerugian negara dengan cara mengidentifikasi penyimpangan yang terdapat dalam pengadaan tanah oleh Dinas Prasarana Jalan dan Tata Pemukiman (Disprasjaltarkim) yang saat ini Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dari tahun 2012 sampai 2016. “Setelah kami melihat ada kemungkinan kerugian, makanya tim BPK RI turun langsung dengan didampingi Bareskrim, dan mengidentifikasi ke lapangan. Dari sanalah maka didapatkan total kerugian ini,” kata Pemut didampingi Kepala Subauditorat Sumatera Barat I, Indria Syzinia, Kepala Subbagian Hukum, Ronni Akbar dan Kepala Subbagian Humas dan TU Kalan, Rita Rianti, di kantornya Selasa (8/5).
Sementara itu, sekaitan dengan pengalihan kewenangan proyek strategis kata Pemut, yang seharusnya dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan malah dibiayai dengan APBD itu tidak ada masalah selama ada alasan yang kuat antara eksekuti dan legislatif. “Biasanya yang menjadi alasan pemindahan itu karena alasan mendesak, seperti sebuah proyek yang mesti dilakukan dalam waktu dekat untuk kepentingan masyarakat dan kalau harus menunggu APBN mungkin terlalu lama,” ujarnya.
Alasan seperti itu ujar Pemut, bisa dijadikan alasan pengalihan pembiayaan dalam pelaksanaan proyek tersebut. “namun, itu bukan ranah BPK tapi apapun alasannya itu tergantung eksekutif dan legislatif,” ujarnya.
Kepala Daerah Harus Berinovasi
Pemut Aryo Wibowo juga meminta kepala daerah untuk terus berkomitmen untuk mencapai visi dan misinya dalam pembangunan. Setiap kepala daerah juga mesti jujur dan membuka diri tentang kondisi daerahnya. “Kalau komitmen ini sudah ada, tidak akan ada lagi yang berpikir macam-macam. Karena semua sudah fokus untuk mewujudkan apa yang diinginkan,” ujar Pemut Aryo.
Dengan konsep visi dan misi yang jelas, para kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) akan berlomba-lomba melakukan inovasi. “Karena kalau masih ada yang melakukan inovasi akan diketawakan sama yang lain. Kok masih gitu-gitu aja,” katanya.
Lebih lanjut dikatakan Pemut, setiap daerah harus berani membuka diri tentang masalah daerahnya. Sehingga ini akan mendukung pembangunan di wilayah itu. “Misalnya, dia ada masalah tanah, masalah aset, berurusan dengan pengadilan. Kalau terbuka diri itu kunci kesuksesan di daerah,” pungkasnya.
Terkait predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), tujuan yang ingin dicapai adalah keterbukaan daerah tentang kondisi daerahnya sendiri. Konsep pemberian WTP itu pada hakikatnya mendorong perbaikan dalam pemerintah dan bahkan lebih jauh itu akan menjadi pendororng di Pemda tersebut. “WTP dan sebuah kenormalan. Kalau tidak normal itu maka harus malu,” katanya.
Dalam penilaian WTP yang dilihat itu kesesuaian penyajian, pengungkapan (sengketa) dan kepatuhan dalam undang-undang . Bagi daerah nilai tambah dari menerima WTP itu akan dapat dana insentif daerah sebesar Rp7,5 miliar dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). “Kepatuhan dalam Undang-undang itu seperti dalam pengerjaan suatu proyek apakah sudah sesuai dengan perencanaan atau tidak. Bisa juga terkait dengan laporan yang disajikan apakah sudah sama dengan realisasi di lapangan,” ujarnya. (h/mg-hen/isr)