PADANG-HALUAN
Sidang dugaan korupsi Rp62,5 miliar, kembali di gelar di Pengadilan Tipikor Padang, Senin (5/2) siang. Dalam persidangan, terdakwa Yusfani Ajo menyebut, uang hasil dari pembuatan Surat Pertanggungjawaban (SPj) fiktif tidak dimakannya sendiri, tapi dibagi ke semua pihak.
Adanya pembagian uang itu diungkapkan Yusfani Ajo ketika membantah keterangan dua Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) proyek berbeda di Dinas Prasjaltarkim (kini Dinas PUPR) Sumbar. Yakni, Mai Halfani dan Eko Herlambang. Yusfani menyebut, kedua mantan atasannya itu pernah menerima uang darinya. “Pak Mai dan pak Eko pernah saya titip uang,” ungkap Yusfani dalam keterangannya di hadapan majelis hakim. Pernyataan itu langsung dicatat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Terlepas dari pengakuan bagi-bagi uang, sidang kemarin sedianya ada lima saksi yang dipanggil oleh JPU. Mulai dari Mai Halfri, Eko Herlambang, Hefdi dari Tim Anggaran Pemerintahan Daerah (TPAD), Yunita, Kasi Perencanaan Teknis Jalan dan pejabat teras Dinas Prasjaltarkim lainnya, Indra Jaya. Namun dari lima saksi, hanya empat yang hadir. Indra Jaya tidak memenuhi panggilan jaksa.
Informasi yang diterima Haluan, Indra Jaya tidak datang karena di waktu yang bersamaan, dia juga dipanggil penyidik Bareskrim Polri, dalam pengembangan kasus SPj fiktif jilid II. “Saksi Indra Jaya memang tidak bisa hadir karena dipanggil Bareskrim juga. Pekan depan kembali diagendakan pemanggilan dirinya untuk memberi kesaksian dalam persidangan, karena dia termasuk saksi yang penting,” terang Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejari Padang, Munandar usai persidangan.
Dalam keterangannya, saksi Mai Halfari yang merupakan KPA pada Februari hingga Agustus 2014 menyebut, Yusafni sebagai PPTK dalam pembebasan lahan untuk Flyover Duku dan Lahan untuk Jalur II Jalan Samudra. Walau sebagai KPA dia memiliki tugas mulai dari perencanaan, pelaksanaan serta pertanggungjawaban dari sebuah kegiatan namun dia menyebutkan tidak turut merencanakannya, “ Saya hanya melanjutkan tugas KPA sebelumnya, yaitu Yohanes, karena beliau meninggal,” kata Mai menjawab pertanyaan dari JPU.
Ia menyebut tidak menaruh curiga pada Yusafni karena saat itu dia menyebut mulai adanya pengerjaan pada jalan yang diganti rugi tersebut. Saat ia mencoba bertanya kepada Staf Yusafni bernama Rini, dia juga menyebut kalau pembayaran sudah dilakukan. Mai juga melihat kwitansi yang sudah ditanda tangani oleh penerima ganti rugi. “ Sebelumnya saya tidak tahu kalau adanya permasalahan. Sebagai KPA, saya tidak pernah bertemu secara langsung dengan Yusafni karena dia langsung menemui Kepala Dinas yang waktu itu dijabat Suprapto,” aku Saksi Mai.
Sepanjang menjabat sebagai KPA, Mai mengaku ada tiga kali pencairan anggaran terhadap ganti rugi tersebut dengan total Rp17 miliar. Selanjutnya ia tidak mengetahui apakah dana tersebut dibayar oleh terdakwa kepada pemilik lahan atau tidak. “Sebagai KPA saya hanya menandatangani Surat Perintah Membayarkan (SPM) sesuai dengan jumlah dan nama dari PPTK. Saya mengetahui kegiatan ini bermasalah setelah saya diperiksa oleh Badan Pengawas Daerah (Bawasda). Disana saya juga melihat adanya SPj Fiktif dan juga tanda tangan saya yang dipalsukan,” terangnya.
Saksi juga mengaku penah menerima uang Rp3 juta dari staf terdakwa dan mengatakan uang tersebut untuk beli minyak. Namun ia tidak mengetahui uang itu darimana asalnya. Ia juga tidak mengetahui apakah sudah ada sosialisasi terhadap pembayaran ganti rugi tersebut kepada masyarakat.
Sementara, saksi Eko Herlambang merupakan KPA yang menggantikan Mai Halfari yang pindah tugas juga mengaku tidak pernah ikut dalam perencanaan kegiatan, karena ia hanya melanjutkan tugas KPA sebelumnya sekitar Rp6 miliar. “Saya juga tidak pernah bertemu langsung dengan Yusafni dalam kegiatan ini, hanya stafnya saja yang disuruh menghadap saya. Pernah saya memanggil Yusafni, melalui stafnya, tapi tidak pernah datang menghadapnya,” katanya.
Dikatakannya, sebagai KPA dalam kegiatan pembebasan lahan Main Stadion di Sikabu, Lubuk Alung, Padang Pariaman, ia tidak pernah menerima laporan tertulis realisasi anggaran tersebut. Saat diminta kepada Yusafni melalui stafnya, hanya dijanjikan akan melengkapi. Namun, hingga saat ini tidak pernah diberikan laporan tersebut. “ Saat diperiksa Bawasda saya terkejut, ada bukti terhadap pembayaran orang yang sama, dengan jumlah yang berbeda. Misalnya, sebelumnya menerima Rp5 juta, pada anggaran berikutnya menerima Rp15 juta, “ terang saksi.
Ia juga mengaku dikagetkan dengan bukti pembayaran yang tidak melalui dirinya. Namun, uang tersebut tetap dicairkan. Ia mengaku memang tidak ada melakukan verifikasi terhadap LPj dari kegiatan tersebut, karena laporan tidak pernah diberikan kepadanya.
Selanjutnya, saksi Hefdi dari TAPD, sebagai tim anggaran ia hanya meminta kepada SKPD usulan kegiatan yang akan dilaksanakan, hal tersebut juga harus merujuk kepada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Saksi Yunita juga mengaku tidak pernah menerima Rancangan Kerja dan Anggaran (RKA) untuk membebaskan lahan tersebut. “Saya hanya mengumpulkan laporan dari PPTK, namun itu juga stafnya yang berikan, lalu memberikannya kepada Kasubbag program,” jelasnya.
Namun, sejumlah keterangan saksi dibantah Yusafni. Terutama keterangan dua mantan KPA, Mai Halfri dan Eko Herlambang. Terutama soal pertemuan. Kalau keduanya menyebut tidak pernah bertemu, Yusafni malah menyebut beberapa kali bersua. “Saya pernah menemui Pak Mai tiga kali, dan saat itu saya juga memberikan uang kepadanya. Pak Eko juga pernah bertemu. Saya juga pernah menitipkan uang untuk Pak Eko melalui staf saya,” kata Yusafni yang didampingi kuasa hukumnya, Bob Hasan di hadapan majelis hakim.
Setelah mendengarkan keterangan empat saksi, Ketua Majelis Hakim, Irwan Munir didampingi hakim anggota Emria dan Perry Desmarera menunda sidang hingga pekan depan, serta memerintah JPU untuk menghadirkan saksi lainnya di persidangan. “Sidang ditunda pekan depan dengan agenda masih pemeriksaan saksi. JPU harus bisa menghadirkan saksi yang sudah dijadwalkan untuk didengarkan keterangannya,” papar Irwan.
Dalam dakwaan JPU, perbuatan korupsi yang dilakukan Yusafni dilakukan secara bersama. Perbuatan itu dilakukan sejak tahun 2012 sampai 2016, dalam kegiatan pengadaan tanah untuk sejumlah proyek di Sumbar. Total kerugian negara sebesar Rp62,5 miliar rupiah. Yusafni diduga menyalahgunakan kewenangan, serta membuat SPj fiktif lebih dari satu. Dia juga dianggap melakukan pengadaan tanah dengan cara memalsukan daftar nama pemilik tanah yang nantinya akan menerima ganti rugi, memotong anggaran, dan melakukan penggelembungan.
Yusafni berbuat dalam dua jabatan berbeda. Tahun 2012, selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Selanjutnya pada 2013 – 2016 selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR). Sejumlah proyek yang dijadikan ladang korupsi adalah proyek ganti rugi lahan di Jalan Samudera Kota Padang, ganti rugi lahan Pembangunan Jalur II Bypas Padang, pembangunan Flyover Duku, Padang Pariaman, dan pembangunan Stadium yang juga di Padang Pariaman.
Uang hasil korupsi itu disebutkan JPU ditransfer ke sejumlah pihak dan dibelanjakan Yusafni. Khusus pemakaian pribadi, Yusafni setidaknya membeli mobil sebanyak 12 unit dalam kurun 2013 – 2016, sejumlah alat berat dan tanah di beberapa tempat. Tidak hanya untuk barang, dia juga melakukan transfer dengan nilai tak sedikit ke sejumlah perusahaan dan orang. Mulai ke CV Kembang Raya yang merupakan miliknya, lalu ke PT Trakindo, PT Serumpun Indah Perkasa, PT Hexindo Adi Perkasa, CV Aulia dan PT Lybas Area Construction Raya. Beberapa nama juga disebut menerima transferan dari Yusafni mulai dari Weni Darti, Nasrizal, Elia Harmonis dan Elfi Wahyuni. Namun tidak disebutkan jaksa secara terperinci, untuk apa uang itu disetorkan. (h/mg-hen)