PADANG – HALUAN
Kasus dugaan korupsi dengan modus SPj fiktif di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar tak habis hanya sampai di Yusafni Ajo yang kini sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Padang. Masih banyak nama yang ada ditangan penyidik dan dianggap bertanggungjawab atas hilangnya puluhan miliar uang negara.
Sejumlah nama yang ada pada penyidik dan berpotensi mengekor Yusafni Ajo ke balik jeruji besi, menurut sumber Haluan merupakan orang-orang yang memiliki pengaruh kuat di Pemprov Sumbar. Yusafni tidak sendiri menikmati uang puluhan miliar tersebut, ada tangan lain yang ikut menampungnya, dan digunakan di luar urusan dinas.
Kepala Subdit IV Ditipidkor Bareskrim Polri Kombes Pol Totok Suharyanto tidak menampik adanya aliran uang ke sejumlah orang dalam kasus SPj Fiktif. Dia juga menyebut hasil penyelidikan penyidik, Yusafni tidak bekerja sendiri. Dia hanya bagian dari dugaan tindak kejahatan yang terstruktur. Dia menyebut, sekarang jajarannya sedang menyigi keterlibatan pihak lain. “Kasusnya dua berkas. Untuk yang pertama dengan terdakwa Yusafni Ajo. Kalau yang kedua, sekarang masih dalam tahap penyelidikan,” terang Kombes Pol Totok.
Dijelaskan Totok Suharyanto, berjilidnya kasus dugaan korupsi yang terjadi di Dinas Pekerjaan Umum (PU) Sumbar, yang sekarang menjadi Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dikarenakan penyidik meyakini, kasus korupsi tidak mungkin berdiri sendiri, dan dilakukan satu orang. “Ada dugaan keterlibatan pihak lain dalam kasus ini, mengingat Yusafni tidak memiliki kewenangan penuh dalam penganggaran. Kalau soal siapa orang yang dimaksud, maaf saya belum bisa memberitahunya sekarang karena belum masuk ke tahap penyidikan,” jelas Totok.
Pengembangan kasus disebutkan Totok sebagai komitmen awal. Dimana, setelah Yusafni alias Ajo selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) atau juru bayar diserahkan kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Padang untuk disidangkan. Pihak langsung mengembangkan perkara tersebut untuk menetapkan nama-nama lain sebagai tersangka. “Sekarang sudah jalan. Nanti kalau ada penetapan tersangka diinfokan,” ucapnya.
Saat ini Dittipidkor tengah melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen hasil pemeriksaan terhadap Yusafni. Setelah itu, akan ditetapkan beberapa nama untuk diperiksa kembali sebagai calon saksi untuk tahap penyidikan.“Sesuai komitmen di awal, tindakan korupsi dan pencucian uang ini sudah merugikan negara dengan nilai yang tidak sedikit. Dittipidkor tetap menjaga komitmen untuk menuntaskan perkara ini, sesuai dengan alat bukti yang kami peroleh,” paparnya.
Selain itu, terkait pengembalian uang oleh Yusafni kepada negara senilai Rp500 juta, saat ini sudah diterima dan terhitung sebagai pengembalian hasil KKN dari Yusafni kepada negara.” Terkait uang Rp500 juta yang dikembalikan dengan cara dicicil ke Pemprov Sumbar, itu sekarang sudah ditangan penyidik dan jadi bukti,”sebut Kasubdit IV Dittipidkor Bareskrim Polri itu.
Dalam dakwaan JPU yang dibacakan JPU Dr Erianto, di sidang perdana jumat (12/1), perbuatan korup yang dilakukan Yusafni disebutkan dilakukan secara bersama. Nama Suprapto mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU)Sumbar kini Dinas (PUPR-red) paling sering disebut oleh JPU. Dia ikut terlibat bersama-sama melakukan korupsi dengan Yusafni. Suprapto kini sedang menjalani masa hukuman karena ditangkapa KPK dalam kasus suap terhadap anggota Komisi III DPD Fraksi Demokrat, I Putu Sudiartana sebesar Rp 500 juta. Dia sudah divonis 34 bulan oleh majelis hakim.
Perbuatan itu dilakukan sejak tahun 2012 sampai 2016, dalam kegiatan pengadaan tanah untuk sejumlah proyek di Sumbar. Total kerugian negara sebesar Rp62,5 miliar rupiah. Yusafni disebut menyalahgunakan kewenangan, serta membuat SPj fiktif lebih dari satu. Dia juga dianggap melakukan pengadaan tanah dengan cara memalsukan daftar nama pemilik tanah yang nantinya akan menerima ganti rugi, memotong anggaran dan, melakukan penggelembungan.
Yusafni berbuat dalam dua jabatan berbeda. Tahun 2012 selaku Kuasa Pengguna Anggaran(KPA). Selanjutnya pada 2013-2016 selaku Pejabat Pelaksana Tekni Kegiatan (PPTK)pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR). Sejumlah proyek yang dijadikan ladang korupsi.
Adalah proyek ganti rugi lahan di jalan Samudera Kota Padang, ganti rugi lahan pembangunan Jalur II Bypass Padang, pembangunan Flyover Duku, Padang Pariaman dan pembangunan Stadium yang juga di Padang Pariaman.
Uang hasil korupsi itu disebutkan JPU ditransfer ke sejumlah pihak dan dibelanjakan Yusafni. Khusus pemakaian pribadi, Yusafni setidaknya membeli mobil sebanyak 12 unit dalam kurun 2013-2016, sejumlah alat berat dan tanah di beberapa tempat. Tidak hanya untuk barang, dia juga melakukan transfer dengan nilai yang tidak sedikit ke sejumlah perusahaan dan juga orang. Mulai ke CV Kambang Raya yang merupakan miliknya, lalu ke PT Trakindo, PT Serumpun Indah Perkasa PT Hexindo Adi Perkasa, CV Aulia dan PT Lybass Area Construction Raya. Beberapa nama juga disebut menerima transferan dari Yusafni mulai dari Weni Darti, Nasrizal, Elia Harmonis dan Elfi Wahyuni. Namun tidak disebutkan jaksa secara terperinci, untuk apa uang itu disetorkan.
Harus Kejar Pihak Lain
Harapan agar aparat penegak hukum mengejar tersangka lain dalam kasus ini juga telah berulang kali disampaikan kalangan masyarakat, pengamat, dan aktivis. Adrian dari kalangan masyarakat meyakini, ketidakpahaman masyarakat tentang teknis penyelewengan kasus yang dikenal luas dengan sebutan kasus surat pertanggungjawaban (SPj) Fiktif tersebut, menjadi jalan bagi orang-orang tertentu untuk menyelewengkan anggaran untuk kepentingan pribadi.
Hal serupa juga disampaikan oleh Arief Paderi dari Lembaga Anti-Korupsi Integritas. Dalam pandangannya, diambilalihnya kasus SPj Fiktif oleh Bareskrim Polri sempat menuai pertanyaan besar. Namun, ia masih menaruh sedikit harapan agar aparat betul-betul serius menangani kasus tersebut. “Kalau memang sudah diperiksa saksi sebanyak itu (180 orang lebih dalam berkas Yusafni), harapan kami tentu tersangkanya tidak berhenti di YSN (Yusafni) saja,” katanya.
Sementara itu pengamat Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, secara teori, korupsi sangat tidak mungkin dilakukan satu orang. “Ayam berkokok atau tidak berkokok pun, aparat penegak hukum harus tetap menaruh curiga. Secara logika umum, tidak mungkin kasus SPj Fiktif ini hanya melibatkan satu orang. Sedangkan secara logika hukum ya, buktikan di ranah peradilan,” katanya.
Sekedar pengingat, kasus korupsi dengan modus pembuatan Surat Pertanggungjawaban (SPj) Fiktif ini mulai menyeruak ke publik setelah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar menggelar konferensi pers pada 5 Januari 2017 lalu. Saat itu, Pemprov melalui Sekretaris Daerah (Sekda) Ali Asmar menjelaskan bahwa pihaknya menerima laporan dari BPK Sumbar, bahwa telah terjadi penyelewengan anggaran pada Dinas Prasjaltarkim Sumbar sejak 2013 hingga 2015.
Pemprov juga menyampaikan bahwa pihaknya telah memanggil dan memeriksa Yusafni selaku Aparatur Sipil Negara (ANS) yang bekerja sebagai PPTK pada Dinas Prasjaltarkim. Sekda sempat menyatakan, bahwa berdasarkan pemeriksaan internal, Yusafni disebut bekerja sendiri dalam tersebut memantik perhatian banyak kalangan, termasuk akademisi, praktisi hukum, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan organisasi kemahasiswaan. Menurut banyak kalangan, korupsi bermodus SPj Fiktif senilai puluhan miliar itu tidak mungkin dilakukan sendiri, sehingga pernyataan Pemprov dianggap sebagai upaya melokalisir temuan dan melindungi keterlibatan pihak-pihak tertentu.
Puncaknya,masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil sumbar (KMSS) menggelar aksi damai di halaman Kantor Kejati Sumbar pada 16 Februari, menuntut Kejati sumbar mengusut tuntas kasus tersebut. Dwi Samudji selaku Aspidsus Kejati Sumbar saat itu menyatakan telah memulai penyelidikan sejak 4 Februari 2017, dan penyidikan sejak 8 Februari. Namum, pada akhir Februari berdasarkan kesepakatan antar aparat penegak hukum, Bareskrim ditugaskan ditugaskan untuk melanjutkan penyidikan kasus ini.
Defika Yufiandra, pengacara Yusafni Ajo jauh-jauh hari sudah menyebut kalau kliennya tidak main sendiri. Dijelaskan Defika, sangat tidak logis, kliennya yang hanya pejabat nonstruktural, dan hanya berposisi sebagai Pejabat Pelaksana Kegiatan (PPK), bermain sendiri dalam dugaan korupsi tersebut. “Klien saya hanya seorang PPK. Dia tidak punya kewenangan apapun dalam penganggaran. Ada atasannya yang memiliki peranan dalam penganggaran. Kok sekarang, seakan-akan ditimpakan semuanya ke klien saya. Dia hanya bagian terendah dari sruktur ini. Ada kemungkinan yang lain ikut bermain,” papar Defika.
Soal anggaran, menurut Defika, banyak mekanisme yang dilalui. Mulai dari pengusulan, pembahasan di DPRD, pengesahan, hingga pencairan. Uang proyek yang nilainya ratusan miliar tersebut, tidak juga langsung masuk ke kantong pribadi, atau rekening pribadi YSN, tapi terlebih dahulu masuk ke DPKA, setelah itu baru ditransfer ke dinas, di lapangan, menurut defika ada tim sembilan yang bekerja dan memiliki tanggung jawab dalam pembebasan lahan.
“Dengan pola demikian, mustahil seorang Yusafni bisa melakukan perbuatan yang disangkakan penyidik sendirian. Itu nantinya yang akan dibuka. Kalau nanti ada tersangka lain, sah-sah saja. Malahan, semestinya demikian. Ada aktor utama yang bisa jadi mengendalikan Yusafni dalam melakukan perbuatan melanggar hukum,” papar Defika.
Dengan adanya dugaan Yusafni dikendalikan atau hanya dapat perintah, pihaknya menurut Defika akan mengajukan permintaan justice collabolator.(h/isq)