Pilar tak Tergoyahkan dalam Menjaga Integritas dan Kepercayaan Bisnis

OLEH : KEVRY RAMDANY DAN DR. YURNIWATI, S.E., M.Si., Ak. CA

Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Andalas/ Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas A

Tindakan tidak beretika dalam konteks profesi akuntansi mencakup pelanggaran norma etika dan integritas dalam penyusunan, pengelolaan, atau penyajian informasi keuangan. Perilaku curang dan manipulatif, yang dapat dilakukan oleh seorang akuntan, memiliki potensi untuk merusak perekonomian. Dalam lingkungan yang bergantung pada kepercayaan dan integritas, tindakan seperti ini dapat memberikan dampak serius pada kestabilan ekonomi. Sebagai penjaga keuangan dan keuangan perusahaan. Pelanggaran terhadap integritas ini dapat menyebabkan dampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian secara keseluruhan.

Tindakan curang seperti manipulasi laporan keuangan, penyalahgunaan dana, atau pelanggaran etika memiliki potensi untuk memicu efek domino yang merusak. Kepercayaan investor dan pemangku kepentingan sangat terkait erat dengan integritas laporan keuangan. Adanya penyimpangan dapat menyebabkan kehilangan kepercayaan investor, yang berdampak pada penurunan nilai saham dan merugikan perekonomian secara menyeluruh. Hilangnya kepercayaan juga dapat menciptakan ketidakstabilan di pasar keuangan, menghambat investasi, dan merugikan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pelaku pasar keuangan bergantung pada informasi yang akurat dan dapat dipercaya untuk membuat keputusan investasi yang cerdas. Ketika informasi tersebut terbukti tidak dapat diandalkan, perekonomian dapat mengalami goncangan serius dengan konsekuensi negatif yang melibatkan penurunan investasi dan pertumbuhan ekonomi yang terhambat.

Salah satu dilema etika dalam praktik pengauditan kasus suap Mulyana W Kusuma terhadap Auditor BPK yang terjadi sekitar tahun 2004. Kasus tersebut melibatkan Mulyana W Kusuma, seorang anggota KPU yang diduga menyap BPK yang sedang melakukan audit keuangan terkait pengadaan logistik pemilu tahun 2004. Pengadaan logistik tersebut mencakup kotak suara, surat suara, amplop suara, tinta, dan teknologi informasi. Setelah pemeriksaan awal, BPK meminta penyempurnaan laporan, dan setelah disepakati bahwa laporan tersbut lebih baik, kecuali untuk teknologi informasi, merek menyetujui pemeriksaan ulang satu bulan kemudian.

Namun, pada saat itulah muncul kabar penangkapan Mulyana W Kusuma atas dugaan penyuapan terhadap anggota tim auditor BPK, yaitu Salman Khairiansyah. Penangkapan tersebut melibatkan kerja tim intelijen KPK dengan auditor BPK. Salman Khairiansyah, menurut versinya, bekerja sama dengan KPK untuk memerangkap upaya penyuapan Mulyana dengan menggunakan alat perekam gambar pada dua pertemuan mereka. Kontroversi muncul terkait peran Salman dalam hal ini, dengan pendapat yang berselisih mengenai apakah tindakan Salman membantu mengungkap kasus ini atau melanggar kode etik karena menggunakan cara tertentu dalam mendapatkan bukti. Kasus ini menibulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat dan menyoroti dilema etika dalam praktek pengauditan serta keterlibatan auditor dalam proses penegakan hukum.

Tindakan curang dan manipulatif seorang akuntan tidak hanya merupakan masalah internal perusahaan, tetapi juga mengancam kesehatan ekonomi secara keseluruhan. Penting bagi otoritas pengawas, organisasi profesi akuntan, dan pemerintah untuk memastikan pengaawasan yang ketat dan sanksi yang tegas guna mencegah dan menindak tindakan curang di dunia akuntansi.

Integritas seorang akuntan dianggap sebagai fondasi keoercayaan publik yang merupakan elemen kunci untuk menjaga kesehatan dan keberlanjutan perekonomian. Tindakan curang satu individu dapat memicu dampak berantai yang merugikan banyak orang. Oleh karena itu, usaha bersama untuk mempromosikan etika tinggi dan kepatuhan terhadap standar akuntansi merupakan langkah krusial dalam menjaga kestabilan perekonomian.

Dalam konteks kasus Mulyana W Kusumah dan tindakan Auditor BPK, kesimpulan dapat ditarik bahwa tindakan kedua belah pihak, baik pihak ketiga (auditor) maupun pihak penerima kerja (KPU), dianggap tidak etis. Tidak etisnya seorang auditor yang melakukan komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan dasar imbalan uang, sekalipun dengan tujuan mulia untuk mengungkap indikasi korupsi di KPU, tetap dianggap sebagai tindakan yang tidak mematuhi etika dan standar profesi akuntansi.

Tujuan yang benar, etis, dan moralis dalam mengungkap adanya kerugian bagi pihak pemberi kerja (rakyat Indonesia yang direpresentaskan) oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK) harus dilakukan dengan mematuhi cara, teknik, dan prosedur profesi yang berlandaskan pada etika profesi. Dari sudut pandang etika profesi, tindakan auditor yang menggunakan jebakan imbalan uang untuk menjalankan profesinya dianggap tidak bertanggungjawab dan kehilangan integritas. Pemihakan pada satu pihak, yaitu pemberi kerja, dengan kesimpulan sebelumnya bahwa telah terjadi korupsi, juga menimbulkan keraguan terhadap independensi dan objektivitas auditor BPK.

Berdasarkan prinsip hati-hati auditor BPK dianggap telah menjalankan profesinya secara serampangan. Untuk memperbaiki hal ini, auditor BPK seharusnya menggunakan standar teknik dan prosdur yang sesuai dengan standar profesi akuntan, kemungkinan adanya hal-hal negatif, termasuk dugaan korupsi, dapat diungkap secara profesional. Tampaknya, auditor BPK harus membangun keyakinan terhadap kemampuan profesionalnya dan menghindari menggunakan cara-cara tidak etis serta tidak moralis, seperti tindaka jebakan yang telah terjadi.(*)

Selengkapnya unduh disini