Sub Bagian Umum & TI - Sub Bagian Humas BPK SUMBAR © 2021
Kepala Daerah : | H. Mahyeldi Ansharullah, S.P. |
Ibu Kota: | Padang |
Jumlah OPD : | 50 |
Jumlah Kecamatan : | 179 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 1274 |
Sumatra Barat (disingkat Sumbar) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Sumatra dengan Padang sebagai ibu kotanya. Provinsi Sumatra Barat terletak sepanjang pesisir barat Sumatra bagian tengah, dataran tinggi Bukit Barisan di sebelah timur, dan sejumlah pulau di lepas pantainya seperti Kepulauan Mentawai. Dari utara ke selatan, provinsi dengan wilayah seluas 42.012,89 km² ini berbatasan dengan empat provinsi, yakni Sumatra Utara, Riau, Jambi, dan Bengkulu.
Nama Provinsi Sumatra Barat bermula pada zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), di mana sebutan wilayah untuk kawasan pesisir barat Sumatra adalah Hoofdcomptoir van Sumatra's westkust. Kemudian dengan semakin menguatnya pengaruh politik dan ekonomi VOC, sampai abad ke 18 wilayah administratif ini telah mencangkup kawasan pantai barat Sumatra mulai dari Barus sampai Inderapura. Seiring dengan kejatuhan Kerajaan Pagaruyung, dan keterlibatan Belanda dalam Perang Padri, pemerintah Hindia Belanda mulai menjadikan Kawasan pedalaman Minangkabau sebagai bagian dari Pax Nederlandica, kawasan yang berada dalam pengawasan Belanda, dan wilayah Minangkabau ini dibagi atas Residentie Padangsche Benedenlanden dan Residentie Padangsche Bovenlanden. Selanjutnya dalam perkembangan administrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, daerah ini tergabung dalam Gouvernement Sumatra's Westkust, termasuk di dalamnya wilayah Residentie Bengkulu yang baru diserahkan Inggris kepada Belanda. Kemudian diperluas lagi dengan memasukkan Tapanuli dan Singkil. Namun pada tahun 1905, wilayah Tapanuli ditingkatkan statusnya menjadi Residentie Tapanuli, sedangkan wilayah Singkil diberikan kepada Residentie Atjeh. Kemudian pada tahun 1914, Gouvernement Sumatra's Westkust, diturunkan statusnya menjadi Residentie Sumatra's Westkust, dan menambahkan wilayah Kepulauan Mentawai di Samudra Hindia ke dalam Residentie Sumatra's Westkust, serta pada tahun 1935 wilayah Kerinci juga digabungkan ke dalam Residentie Sumatra's Westkust. Pasca pemecahan Gouvernement Sumatra's Oostkust, wilayah Rokan Hulu dan Kuantan Singingi diberikan kepada Residentie Riouw, dan juga dibentuk Residentie Djambi pada periode yang hampir bersamaan. Pada masa pendudukan tentara Jepang, Residentie Sumatra's Westkust berubah nama menjadi Sumatora Nishi Kaigan Shu. Atas dasar geostrategis militer, daerah Kampar dikeluarkan dari Sumatora Nishi Kaigan Shu dan dimasukkan ke dalam wilayah Rhio Shu. Pada awal kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, wilayah Sumatra Barat tergabung dalam provinsi Sumatra yang berpusat di Bukittinggi. Empat tahun kemudian, Provinsi Sumatra dipecah menjadi tiga provinsi, yakni Sumatra Utara, Sumatra Tengah, dan Sumatra Selatan. Sumatra Barat beserta Riau dan Jambi merupakan bagian dari keresidenan di dalam Provinsi Sumatra Tengah. Pada masa PRRI, berdasarkan Undang-undang darurat nomor 19 tahun 1957, Provinsi Sumatra Tengah dipecah lagi menjadi tiga provinsi yakni Provinsi Sumatra Barat, Provinsi Riau, dan Provinsi Jambi. Wilayah Kerinci yang sebelumnya tergabung dalam Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci, digabungkan ke dalam Provinsi Jambi sebagai kabupaten tersendiri. Begitu pula wilayah Kampar, Rokan Hulu, dan Kuantan Singingi ditetapkan masuk ke dalam wilayah Provinsi Riau. Selanjutnya ibu kota provinsi Sumatra Barat yang baru ini masih tetap di Bukittinggi. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatra Barat No. 1/g/PD/1958, tanggal 29 Mei 1958 ibu kota provinsi dipindahkan ke Padang.
Secara astronomis, Sumatera Barat terletak antara 0°54’ Lintang Utara dan 3°30’ Lintang Selatan dan antara 98°36’−101°53’ Bujur Timur dan dilalui oleh garis ekuator atau garis khatulistiwa. Berdasarkan posisi geografisnya, Provinsi Sumatera Barat memiliki batas-batas: Utara – Provinsi Sumatera Utara dan Riau; Selatan – Provinsi Bengkulu dan Samudera Hindia; Barat - Samudera Hindia; Timur – Provinsi Riau dan Provinsi Jambi
• Sebelah Timur : Provinsi Riau dan Provinsi Jambi • Sebelah Barat : Samudera Indonesia • Sebelah Utara : Provinsi Sumatera Utara • Sebelah Selatan : Provinsi Jambi dan Provinsi Bengkulu
Kepala Daerah : | Drs. Rusma Yul Anwar, M.Pd. |
Ibu Kota: | Painan |
Jumlah OPD : | 45 |
Jumlah Kecamatan : | 15 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 182 |
Jauh dimasa silam, wilayah Pesisir Selatan merupakan daerah sepanjang pesisir pantai Sumatera Barat yang terdiri dari rawa-rawa dataran rendah dan bebukitan yang belum berpenghuni. Kalaupun ada penghuni jumlahnya sangat sedikit dan besar kemungkinan mereka adalah orang-orang yang dikenal sebagai Orang Rupit pelarian dari daerah Sungai Pagu Muara Labuh dan sekitarnya. Kemudian beberapa ratus tahun kemudian barulah datang orang-orang dari darek (Luhak) menempati wilayah ini dan juga dari arah selatan (Bengkulu, Jambi dan Palembang). Dari darek sendiri ada dua daerah asal yaitu Kubuang Tigo Baleh dan Sungai Pagu Muaro Labuh. Dulu hampir seluruh wilayah kabupaten Pesisir Selatan sekarang merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Inderapura. Juga pernah dikenal sebagai Banda Sapuluah atau Bandar Sepuluh karena ia terdiri dari sepuluh kota kecil atau bandar yang sekarang merupakan ibukota kecamatan. Tapi Bayang, Sebelas Koto Tarusan, Inderapura, Tapan dan Lunang tidak termasuk kedalam Banda Sapuluah tersebut. Nama Pesisir Selatan berasal dari nama daerah ini pada masa penjajahan Belanda, afdeling zuid beneden landen (dataran rendah bagian selatan). Ketika itu, pada tahun 1903, wilayah Bandar Sepuluh Inderapura dan Kerinci menjadi afdeeling yang dipimpin asisten residen yang berkedudukan di Inderapura sebagai pusat pemerintahan. Melalui UU no 12 Tahun 1956 daerah ini menjadi kabupaten Pesisir Selatan Kerinci. Tahun 1957 dengan lepasnya Kerinci menjadi kabupaten sendiri di bawah provinsi Jambi, namanya berubah menjadi Pesisir Selatan.
Kabupaten Pesisir Selatan secara astronomis terletak pada 0°57’31,21” – 2°28’,42,32 Lintang Selatan dan 100°17’48,64” – 101°17’34,3” Bujur Timur. Berdasarkan letak geografisnya, Kabupaten Pesisir Selatan terletak di pantai barat pulau Sumatera. Selain daratan pulau Sumatera, Kabupaten Pesisir Selatan juga memiliki 47 pulau kecil yang menyebar di sisi pantai Kabupaten Pesisir Selatan. Berdasarkan topologi wilayah, Kabupaten Pesisir Selatan di lewati sejumlah aliran sungai yaitu sebanyak 23 aliran sungai.
• Sebelah utara berbatasan dengan Kota Padang • Sebelah timur dengan Kabupaten Solok dan Provinsi Jambi • Sebetah selatan dengan Provinsi Bengkutu • Sebelah barat dengan Samudera Hindia
Kepala Daerah : | Sutan Riska Tuanku Kerajaan, S.E. |
Ibu Kota: | Pulau Punjung |
Jumlah OPD : | 27 |
Jumlah Kecamatan : | 11 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 52 |
Kabupaten Dharmasraya merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung yang diresmikan tanggal 7 Januari 2004 oleh Presiden RI secara simbolik di Istana Negara. Dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 38 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Pasaman Barat di Provinsi Sumatera Barat yang diresmikan oleh Gubernur Sumatera Barat atas nama Menteri Dalam Negeri pada tanggal 7 Januari 2004. Aktifitas Pemerintahan telah dimulai sejak dilantiknya Penjabat Bupati Dharmasraya pada tanggal 10 Januari 2004 dan baru pada tanggal 12 Agustus 200 5 Kabupaten Dharmasraya memiliki Bupati/Wakil Bupati Definitif hasil Pilkada Langsung Tahun 2005.
Kabupaten Dharmasraya merupakan salah satu dari 3 kabupaten baru hasil pemekaran di Sumatera Barat berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 tahun 2003. Kabupaten ini lahir dari pemekaran Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung yang terdiri dari 4 kecamatan dengan luas 2.961, 13 Km atau 296.113 Ha. Secara geografis kabupaten Dharmasraya berada pada posisi,00 47'7" LS -- 141' 56",Lintang Selatan (LS) dan,1019' 21",BT -- 1010 54' 27",Bujur Timur (BT).
• Sebelah Utara dengan Kab. Sawahlunto/Sijunjung dan kab. Kuantan Singingi Propinsi Riau • Sebelah Selatan dengan Kab. Bungo dan Kab. Kerinci Provinsi Jambi • Sebelah Timur dengan Kab. Tebo dan Bungo Propinsi Jambi • Sebelah Barat dengan Kab. Solok dan Solok Selatan.
Kepala Daerah : | Hendri Septa, B.Bus.(Acc), M.I.B. |
Ibu Kota: | Kota Padang |
Jumlah OPD : | 45 |
Jumlah Kecamatan : | 11 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 104 |
Menurut sumber sejarah pada awalnya (sebelum abad ke-17) Kota Padang dihuni oleh para nelayan, petani garam dan pedagang. Ketika itu Padang belum begitu penting karena arus perdagangan orang Minang mengarah ke pantai timur melalui sungai-sungai besar. Namun sejak Selat Malaka tidak lagi aman dari persaingan dagang yang keras oleh bangsa asing serta banyaknya peperangan dan pembajakan, maka arus perdagangan berpindah ke pantai barat Pulau Sumatera. Suku Aceh adalah kelompok pertama yang datang setelah Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada akhir abad ke XVI. Sejak saat itu Pantai Tiku, Pariaman dan Inderapura yang dikuasai oleh raja-raja muda wakil Pagaruyung berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan penting karena posisinya dekat dengan sumber-sumber komoditi seperti lada, cengkeh, pala dan emas. Kemudian Belanda datang mengincar Padang karena muaranya yang bagus dan cukup besar serta udaranya yang nyaman dan berhasil menguasainya pada Tahun 1660 melalui perjanjian dengan raja-raja muda wakil dari Pagaruyung. Tahun 1667 Belanda membangun Loji yang berfungsi sebagai gudang sekaligus tangsi dan daerah sekitarnya dikuasai pula demi alasan keamanan. 7 Agustus 1669, Puncak pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan Belanda dengan menguasai Loji-Loji Belanda di Muaro, Padang. Peristiwa tersebut diabadikan sebagai tahun lahir kota Padang (Berdasarkan SK Walikotamadya Padang No. 188.452.25/SK-ESK/1986). 20 Mei 1784 Belanda menetapkan Padang sebagai pusat kedudukan dan perdagangannya di Sumatera Barat. Padang menjadi lebih ramai setelah adanya Pelabuhan Teluk Bayur. 31 Desember 1799 Seluruh kekuasaan VOC diambil alih pemerintah Belanda dengan membentuk pemerintah kolonial dan Padang dijadikan pusat kedudukan Residen. 1 Maret 1906 Lahir ordonansi yang menetapkan Padang sebagai daerah Cremente (STAL 1906 No.151) yang berlaku 1 April 1906. 9 Maret 1950 Padang dikembalikan ke tangan RI yang merupakan negara bagian melalui SK. Presiden RI Serikat (RIS), No. 111 tanggal 9 Maret 1950. 15 Agustus 1950 SK Gubernur Sumatera Tengah No. 65/GP-50, tanggal 15 Agustus 1950 menetapkan Pemerintahan Kota Padang sebagai suatu daerah otonom sementara menunggu penetapannya sesuai UU No. 225 tahun 1948. Saat itu kota Padang diperluas, kewedanaan Padang dihapus dan urusannya pindah ke Walikota Padang. 29 Mei 1958 SK Gubernur Sumatera Barat No. 1/g/PD/1958, tanggal 29 Mai 1958 secara de facto menetapkan kota Padang menjadi ibukota propinsi Sumatera Barat. Tahun 1975 Secara de jure Padang menjadi ibukota Sumatera Barat, yang ditandai dengan keluarnya UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dengan Kotamadya Padang dijadikan daerah otonom dan wilayah administratif yang dikepalai oleh seorang Walikota
Kota Padang merupakan ibukota Provinsi Sumatera Barat yang terletak di pantai barat pulau Sumatera. Berada di antara 0o44’ dan 01o08’ Lintang Selatan serta antara 100o05’ dan 100o34’ Bujur Timur. Geografis wilayah Kota Padang yaitu 51,01% berupa hutan lindung, 7,35% terdiri dari bangunan dan perkarangan, dan sisanya adalah lahan pertanian serta pemukiman. Kota Padang juga memiliki 19 pulau besar dan kecil. Ketinggian wilayah Kota Padang cukup bervariasai antara 0 – 1853 m dpl. Dilalui oleh 5 sungau besar dan 16 sungai kecil. Kondisi ini semakin didukung oleh curah hujan rata-rata 296,00 mm/bulan (2015) serta suhu yang cukup rendah setiap tahunnya. Kelembaban suhu di Kota Padang berkisar antara 81 – 88%.
• Sebelah Timur : Kabupaten Solok • Sebelah Barat : Samudera Indonesia • Sebelah Utara : Kabupaten Padang Pariaman • Sebelah Selatan : Kabupaten Pesisir Selatan
Kepala Daerah : | Dr. Genius Umar, S.Sos., M.Si. |
Ibu Kota: | Kota Pariaman |
Jumlah OPD : | 27 |
Jumlah Kecamatan : | 4 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 55 |
Kota Pariaman termasuk kota tertua di pantai barat Pulau Sumatera. Kota Pariaman ini merupakan bagian dari kawasan rantau Minangkabau. Pariaman merupakan daerah yang cukup dikenal oleh pedagang bangsa asing semenjak tahun 1500-an. Catatan tertua tentang Pariaman ditemukan oleh Tomec Pires (1446-1524), seorang pelaut Portugis yang bekerja untuk kerajaan Portugis di Asia. Ia mencatat telah ada lalu lintas perdagangan antara India dengan Pariaman, Tiku dan Barus dengan berdagang emas, lada dan berbagai hasil perkebunan dari pedalaman Minangkabau lainnya. Namun pada awal abad ke-17, kawasan ini telah berada dalam kedaulatan kesultanan Aceh. Seiring dengan kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1663 yang kemudian mendirikan kantor dagang di kota Padang yang kemudian pada tahun 1668 berhasil mengusir pengaruh kesultanan Aceh di sepanjang pesisir pantai barat Sumatra. Kemudian pemerintah Hindia Belanda memusatkan aktivitasnya di kota Padang, dan membangun jalur rel kereta api antara kota Padang dengan kota Pariaman, sehingga lambat laun pelabuhan Pariaman pun mulai kehilangan pamornya. Kota Pariaman merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Padang Pariaman yang terbentuk pada tanggal 2 Juli 2002 berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 2002.
Kota Pariaman merupakan hamparan dataran rendah yang landai terletak di pantai barat Sumatra dengan ketinggian antara 2 sampai dengan 35 meter di atas permukaan laut dengan luas daratan 73,36 km² dengan panjang pantai ± 12,7 km serta luas perairan laut 282,69 km² dengan 6 buah pulau-pulau kecil di antaranya Pulau Bando, Pulau Gosong, Pulau Ujung, Pulau Tangah, Pulau Angso dan Pulau Kasiak. Kota Pariaman merupakan daerah yang beriklim tropis basah yang sangat dipengaruhi oleh angin barat dan memiliki bulan kering yang sangat pendek. Curah hujan pertahun mencapai angka sekitar 4.055 mm (2006) dengan lama hari hujan 198 hari. Suhu rata-rata 25,34 °C dengan kelembaban udara rata-rata 85,25 dan kecepatan angin rata-rata 1,80 km/jam.
• Sebelah Utara: kecamatan V Koto Kampung Dalam, kabupaten Padang Pariaman • Sebelah Timur: kecamatan VII Koto Sungai Sarik, kabupaten Padang Pariaman • Sebelah Selatan: kecamatan Nan Sabaris, kabupaten Padang Pariaman • Sebelah Barat: Samudera Hindia
Kepala Daerah : | H. Zul Efian Umar, S.H., M.Si. |
Ibu Kota: | Kota Solok |
Jumlah OPD : | 20 |
Jumlah Kecamatan : | 2 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 13 |
Menurut sejarah, semenjak orang tua-tua terdahulu, nama daerah Solok berawal dari sebutan nama Nagari Solok, persisnya Kota Solok sekarang. Namun sebutan nama Solok justru akhirnya menjadi lazim ketika menyebutkan daerah asalnya tatkala tengah berada di luar daerah dan di perantauan, meskipun orang tersebut sesungguhnya berasal dari Nagari Selayo, Koto Baru, Cupak, Talang, Singkarak, Koto Anau, Gauang, Panyakalan, Muara Panas, Kinari, Kayu Aro, Guguk, dan lain sebagainya. Konon sebutan Solok bermakna saelok alias baik. Dari penuturan sejumlah tokoh adat, daerah Solok bermula juga dari sejarah Kubuang Tigobaleh, persisnya semasa Sumatra Barat ini masih sitem kerajaan Minangkabau. Konon Kubuang Tigobaleh berarti kubuang tiga belas datuk dari lingkungan kerajaan Minangkabau, terkait sesuatu persoalan, sehingga dianggap pembangkang. Artinya dulu raja Minangkabau yang sedang berkuasa marah besar,sehingga memutuskan mengusir tiga belas datuk dari lingkungan kerajaan. Para niniak rang Kubuang Tigobaleh tersebut pun pergi mencari daerah baru. Awalnya dari Pariangan Padang Panjang berjalan ke arah Danau Singkarak, dan ketika sampai di daerah Aripan sekarang, mereka menoleh ke suatu hamparan yang terlihat datar di bawah, sehingga pada saat itu terucaplah kata disitulah tampak nan raso kaelok yang kemudian berubah menjadi Solok. Dalam perjalanannya, para rombongan itu juga sempat menuju tempat ketinggian guna meninjau keadaan alam untuk ditempatinya, yaitu Bukit Gurunan (dekat Payo), dan ada sejumlah sumber mengatakan bahwa tempat itu adalah Aur Berangin (daerah Gaung). Akan tetapi alasan yang lebih dapat diterima logika bahwa tempat ketinggian tersebut diprediksikan Padang si ribu-ribu (dekat Kuncir) atau bukit antara Teluk dengan Tanjung Paku. Dari tempat ketinggian inilah nenek moyang orang Solok melihat suatu dataran yang cukup baik yang mereka sebut dengan saelok-eloknyo yang dalam perkembangannya kata saelok-eloknyo berubah menjadi Solok. Karena informasi mengenai sejarah terjadinya nama daerah/nagari kebanyakan berasal dari cerita lisan, sangat sedikit sekali secara tertulis atau berupa catatan. Sehingga sejarah awal mula nama suatu daerah memiliki banyak versi. Generasi sekarang menerima kebenaran sejarah adalah dari tambo, dan cerita-cerita dari orang tua-tua terdahulu yang dianggap tokoh adat, sangat sedikit dikuatkan dengan peninggalan bukti sejarah. Di lain sisi, banyak juga pihak yang menyatakan kata Solok juga berasal dari kata selo. Hal ini disebabkan karena adanya Batang Sumani yang berbelok-belok (selo) dan kemudian kata tersebut juga berubah menjadi Solok. Versi lain menyebutkan, konon nenek moyang orang Solok dahulunya mempunyai kemampuan lebih dalam setiap menyelesaikan berbagai masalah, dan memiliki wawasan, pola pikir yang luas jauh ke depan sehingga dengan kemampuan tersebut, membuat Pimpinan Luhak Tanah Datar dahulunya sering memberikan tugas kepada mereka untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Luhak Tanah Datar. Dengan janji apabila tugas tersebut berhasil diselesaikan, kepada mereka dijanjikan imbalan sesuai permintaan mereka. Berkat sukses dalam menyelesaikan masalah, diberikan pada mereka suatu wilayah di luar Luhak Tanah Datar, yaitu Daerah Kubuang Tigo Baleh sekarang yang pada waktu itu belum lagi disebut Kubuang Tigo Baleh. Pada zaman penjajahan, Onder Distrik Solok dikepalai oleh Demang. Di era Distrik, Solok dikepalai oleh Controleur, sewaktu Afdeling Solok, termasuk di dalamnya Afdeling Sawahlunto dikepalai oleh Resisten Rest Indent. Pada zaman kemerdekaan, Solok disempurnakan menjadi daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Solok sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten Dalam Lingkungan Provinsi Sumatra Tengah. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah). Namun selanjutnya disempurnakan lagi dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintahan ini dipimpin oleh seorang bupati sebagai kepala daerah. Semenjak diresmikannya Kotamadya Solok pada tanggal 16 Desember 1971, maka Nagari Solok yang semula merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Solok telah berdiri sendiri menjadi daerah tingkat II, dengan mempunyai kedudukan yang sama dengan Kabupaten Solok. Meskipun Solok telah berdiri sendiri dengan nama Kota Solok, namun Ibukota Kabupaten Solok sampai lahirnya Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2004 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Solok Dari Wilayah Kota Solok ke Kayu Aro-Sukarami (Arosuka) di Wilayah Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok masih tetap berada di Solok.
Kota Solok terletak pada posisi 0º32" LU - 1º45" LS, 100º27" BT - 101º41" BT dengan luas 57,64 km² (0,14% dari luas Provinsi Sumatra Barat). Wilayah administrasi Kota Solok berbatasan dengan Kabupaten Solok dan Kota Padang. Kota Solok memiliki peran sentral di dalam menunjang perekonomian masyarakat Kota Solok dan Kabupaten Solok pada umumnya. Topografi Kota Solok bervariasi antara dataran dan berbukit dengan ketinggian 390 dpl serta curah hujan rata-rata 184,31 mm kubik per tahun. Terdapat tiga anak sungai yang melintasi Kota Solok, yaitu Sungai Batang Lembang, Sungai Batang Gawan dan Sungai Batang Air Binguang. Suhu udara berkisar dari 26,1 °C sampai 28,9 °C. Dilihat dari jenis tanah, 21,76% tanah di Kota Solok merupakan tanah sawah dan sisanya 78,24% berupa tanah kering.
• Sebelah Timur : Nagari Tanjuang Bingkuang, Kecamatan Kubung ; Nagari Aripan, Kecamatan X Koto Singkarak ; Nagari Kuncir, Kecamatan X Koto Diateh, Kabupaten Solok • Sebelah Barat : Nagari Saok Laweh, Guguk Sarai dan Gaung Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok • Sebelah Utara : Nagari Gaung, Panyakalan, Koto Baru, Selayo, Kecamatan Kubung ; Nagari Muaro Paneh Kecamatan Bukik Sundi, Kabupaten Solok • Sebelah Selatan : Nagari Selayo, Kecamatan Kubung ; Nagari Koto Sani, Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok
Kepala Daerah : | Fadly Amran, BBA. |
Ibu Kota: | Kota Padang Panjang |
Jumlah OPD : | 24 |
Jumlah Kecamatan : | 2 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 16 |
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, untuk menjalankan roda pemerintahan, Padang Panjang dijadikan suatu kewedanaan yang wilayahnya meliputi Padang Panjang, Batipuh dan X Koto yang berkedudukan di Padang Panjang. Pada masa agresi militer Belanda, Kota Padang Panjang pernah menjadi pusat pemerintahan sementara Sumatera Tengah setelah Kota Padang dikuasai Belanda pada pada tahun 1947. Berdasarkan Ketetapan Ketua PDRI tanggal 1 Januari 1950 tentang Pembagian Propinsi juga sekaligus ditetapkan pula pembagian Kabupaten dan Kota antara lain Bapituh dan X Koto kedalam wilayah Kabupaten Tanah Datar, sehingga Padang Panjang hanya merupakan tempat kedudukan Wedana yang mengkoordinir Kecamatan X Koto. Kemudian berdasarkan UU No. 8 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Kecil di lingkungan Propinsi Sumatera Tengah, maka lahir secara resmi Kota Kecil Padang Panjang. Kota Padang Panjang sebagai pemerintahan daerah terbentuk pada tanggal 23 Maret 1956. Selanjutnya, barulah setahun kemudian, berdasarkan Undang-undang nomor 1 tahun 1957, status kota ini sejajar dengan daerah kabupaten dan kota lainnya di Indonesia. Pada tahun 1957 dilantik Walikota pertama dan sebagai Daerah Otonom sesuai Peraturan Daerah Nomor 34/K/DPRD-1957 dibentuk 4 (empat) Resort, dan dimana masing-masing Resort dengan Keputusan DPRD Peralihan Kota Praja Nomor 12/K/DPRD-PP/57 membawahi 4 jorong. Kemudian berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 istilah kota praja diganti menjadi kotamadya dan berdasarkan peraturan menteri nomor 44 tahun 1980 dan peraturan pemerintah nomor 16 tahun 1982 tentang susunan dan tata kerja pemerintahan kelurahan, maka resort diganti menjadi kecamatan dan jorong diganti menjadi kelurahan dan berdasarkan peraturan pemerintah nomor 13 tahun 1982 Kota Padang Panjang dibagi atas dua kecamatan yakni Kecamatan Padang Panjang Barat dan Kecamatan Padang Panjang Timur, dengan secara keseluruhan 16 kelurahan.
• Sebelah Timur : Kabupaten Tanah Datar • Sebelah Barat : Kabupaten Tanah Datar • Sebelah Utara : Kabupaten Tanah Datar • Sebelah Selatan : Kabupaten Tanah Datar
Kepala Daerah : | Deri Asta, S.H. |
Ibu Kota: | Kota Sawahlunto |
Jumlah OPD : | 29 |
Jumlah Kecamatan : | 4 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 27 |
Pertengahan abad ke-19, Sawahlunto hanyalah sebuah desa kecil dan terpencil, yang berlokasi ditengah-tengah hutan belantara, dengan jumlah penduduk ± 500 orang. Kemudian setelah ditemukannya Batubara di Sawahlunto oleh geolog Belanda Ir. W.H.De Greve tahun 1867, maka Sawahlunto menjadi pusat perhatian Belanda. Pada tanggal 1 Desember 1988 Sawahlunto mulai diakui keberadaannya dalam administrasi pemerintahan Hindia Belanda sebagai bagian dari wilayah Afdealing Tanah Datar. Tanggal 1 Desember kemudian diperingati sebagai Hari Jadi Kota Sawahlunto. Setelah lebih satu abad lamanya batubara sebagai sumber daya yang tidak dapat diperbarui itu kian menipis dan tidak lagi memberikan harapan sepenuhnya seperti masa lalu. Bagi kehidupan kota dan penduduk Kota, Kota Sawahlunto terancam menjadi kota mati. Pemerintah beserta elemen masyarakat Sawahlunto menemukan solusi pemecahan masalah dengan menjadikan Kota Sawahlunto sebagai Kota wisata dengan menonjolkan dua potensi wisata yang menjadi kekuatannya, Wisata Tambang dan Wisata Sejarah Kota Lama. Saat ini, Sawahlunto dikenal sebagai “Kota Wisata Tambang yang Berbudaya”.
Kota Sawahlunto merupakan salah satu kota di Provinsi Sumatera Barat yang memilki luas sekitar 0,65 persen dari luas Provinsi Sumatera Barat. Secara geografis Kota Sawahlunto terletak di daerah perbukitan dengan posisi terletak diantara 100.41 dan 100.49 Bujur Timur, 0.34 – 0.46 Lintang Selatan. Sawahlunto terletak pada daerah perbukitan dengan ketinggian antara 250 – 650 meter diatas permukaan laut. Penggunaan tanah yang dominan di kota ini adalah perkebunan sekitar 34%, dan danau yang terbentuk dari bekas galian tambang batu bara sekitar 0,25%.
• Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kecamatan Tanjung Mas, Kabupaten Tanah Datar; • Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kecamatan IX Koto Sungai Lasi, Kabupaten Solok; • Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan Koto VII dan Kecamatan Kupitan, Kabupaten Sijunjung; • Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kecamatan X Koto Diatas, Kabupaten Solok.
Kepala Daerah : | Eka Putra, S.E. |
Ibu Kota: | Batusangkar |
Jumlah OPD : | 24 |
Jumlah Kecamatan : | 14 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 75 |
Luhak Nan Tuo, nama lain dari Kabupaten Tanah Datar. Masyarakat Minangkabau meyakini bahwa asal usul orang Minangkabau dari Kabupaten Tanah Datar, tepatnya dari Dusun Tuo Pariangan, Kecamatan Pariangan. Banyak bukti yang masih terdapat di Kabupaten Tanah Datar ini seperti Sawah Satampang Baniah, Lurah Nan Indak Barangin, Galundi Nan Baselo, dan Kuburan Panjang Datuk Tantejo Gurhano yang dikenal sebagai arsitek rumah gadang. Kemudian dari Luhak Tanah Datar inilah kemudian orang Minangkabau berkembang dan berpindah ke daerah lain seperti Luhak 50 kota dan Luhak Agam. Di Kabupaten Tanah Datar saat ini masih banyak terdapat peninggalan sejarah adat Minangkabau tersebut, baik berupa benda maupun tatanan budaya adat Minangkabau. Ikrar “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” ini disebut juga dengan Sumpah Sati yang juga di Tanah Datar dilahirkan, yaitu tempatnya di Bukit Marapalam Puncak Pato, Kecamatan Lintau Buo Utara.
Secara geografis wilayah Kabupaten Tanah Datar terletak di tengah-tengah Provinsi Sumatra Barat, yaitu pada 00º17" LS - 00º39" LS dan 100º19" BT – 100º51" BT. Ketinggian rata-rata 400 sampai 1000 meter di atas permukaan laut. Kabupaten Tanah Datar terletak di antara dua gunung, yaitu Gunung Marapi dan Gunung Singgalang. Kondisi topografi ini didominasi oleh daerah perbukitan, serta memiliki dua pertiga bagian danau Singkarak. Secara umum iklim di kawasan Kabupaten Tanah Datar adalah sedang dengan temperatur antara 12 °C–25 °C dengan curah hujan rata-rata lebih dari 3.000 mm per tahun. Hujan kebanyakan turun pada bulan September hingga bulan Februari. Curah hujan yang cukup tinggi ini menyebabkan ketersediaan air cukup, sehingga memungkinkan usaha pertanian secara luas dapat dikembangkan.
• Sebelah Timur : Kabupaten Sijunjung • Sebelah Barat : Kabupaten Padang Pariaman • Sebelah Utara : Kabupaten Agam, Kabupaten Lima Puluh Kota • Sebelah Selatan : Kota Sawahlunto, Kabupaten Solok
Kepala Daerah : | Safaruddin Dt. Bandaro Rajo |
Ibu Kota: | Sarilamak |
Jumlah OPD : | 32 |
Jumlah Kecamatan : | 13 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 79 |
Nama Lima Puluh Kota diambil dari peristiwa kedatangan 50 (limapuluh) rombongan yang datang dari Pariangan, Padang Panjang untuk mencari pemukiman baru di kaki gunung Sago. Mereka berangkat dari Pariangan Padang Panjang, Sungai Jambu, menuju Tabek Patah, Tanjuang Alam, Tungka, Bukik Junjuang Siriah, Bawah Burai, Aia Taganang, Padang Kubuang, Padang si janti-janti, Lurah Pimpiang, Lurah Luak Kuntu, Lurah Basuduik, Lurah Sumua Sati, Lurah Jalan Binti, Ngalau dan sebagainya. Dalam perjalan rombongan menemui sebuah padang ribu-ribu yang luas dan memutuskan bermalam di situ karena hari telah senja (Perkiraan tempat itu sekitar pasar ternak sekarang perbatasan piladang dan situjuah). Pagi esok harinya, di waktu rombongan akan berpencar mencari tempat yang baik untuk daerah pemukiman dan pertanian, diketahui telah berkurang lima rombongan. Setelah bertanya-tanya kemana perginya yang kurang itu, semua yang menjawab mengatakan : antahlah! Tempat itu sampai sekarang bernama padang siantah. Beberapa waktu kemudian baru diketahui, kelima rombongan yang hilang itu menuju daerah Bangkinang, Kuok, Air Tiris, Salo, dan Rumbio. Selanjutnya rombongan yang tinggal 45 kelompok ini melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampailah pada suatu tempat dekat batang agam yaitu titian aka dan kumbuah nan bapayau, dan mereka berhenti dan disambut oleh niniak nan batigo yaitu Rajo Panawa, Barabin Nasi, dan Jhino Katik rombongan yang telah lebih dahulu sampai di Payakumbuh. Niniak nan batigo menerima baik kedatangan mereka. Dan dengan senang hati mempersilahkan memilih tempat yang layak untuk diolah jadi pemukiman, peladangan, dan sawah. Untuk sama-sama teguh memegang buat sebelumnya diadakan musyawarah yang diadakan di atas sebuah tanjung dekat air tabik, mereka berhimpun (berkumpul) di tanjung tersebut sehingga dinamai dengan Tanjung Himpun (masyarakat menyebutnya Tanjung Pun). Dan kemudian mereka membagi rombongan dan melanjutkan menuju arah yang mereka suka masing-masing tempat mereka berpisah dinamai dengan Labuah Basilang.
Kabupaten Lima Puluh Kota terletak antara 0 derajat 25'28,71''LU dan 0 derajat 22'14,52'' LS serta antara 100 derajat 15'44,10" - 100 derajat 50'47,80'' BT. Luas daratan mencapai 3.354,30 Km2 yang berarti 7,94 persen dari daratan Provinsi Sumatera Barat yang luasnya 42.229,64 Km2. Kabupaten Lima Puluh Kota diapit oleh 4 Kabupaten dan 1 Provinsi yaitu : Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Pasaman serta Provinsi Riau. Kabupaten Lima Puluh Kota terdiri dari 13 kecamatan, yang terluas adalah Kecamatan Kapur IX sebesar 723,36 Km2 dan yang terkecil adalah Kecamatan Luak yaitu 61,68 Km2. Topografi daerah Kabupaten Lima Puluh Kota bervariasi antara datar, bergelombang dan berbukit-bukit dengan ketinggian dari permukaan laut antara 110 meter dan 2.261 meter. Didaerah ini terdapat 3 buah gunung berapi yang tidak aktif yaitu Gunung Sago (2.261 m), Gunung Bungsu (1.253 m), Gunung Sanggul (1.495 m) serta 13 buah sungai besar dan kecil yang mengalir dan telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pengairan/irigasi.
• Sebelah Timur : Kabupaten Kampar, Riau • Sebelah Barat : Kabupaten Agam dan Kabupaten Pasaman • Sebelah Utara : Kabupaten Kampar, Riau • Sebelah Selatan : Kabupaten Tanah datar dan Kabupaten Sijunjung
Kepala Daerah : | Dr. H. Andri Warman, M.M. |
Ibu Kota: | Lubuk Basung |
Jumlah OPD : | 27 |
Jumlah Kecamatan : | 16 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 82 |
Kabupaten Agam mempunyai sejarah yang panjang dan komplit, baik di bidang Pemerintahan maupun di bidang adat istiadat. Diawali dari Kerajaan Minangkabau pada pertengahan abad ke-17, dimana rakyat Minangkabau telah memanggul senjata untuk berontak melawan penjajahan Belanda. Pemerintahan Minangkabau yang disebut Ranah Minang, dimana Kabupaten Agam tempo dulu, selain Sumatera Barat juga termasuk daerah Limo Koto Kampar ( Bangkinang ) yang sekarang termasuk Propinsi Riau, Daerah Kabupaten Kerinci ( Sungai Penuh ) sekarang termasuk Propinsi Jambi dan sebagian daerah Tapanuli Selatan ( Koto Napan ) yang sekarang secara administrasi berada di Propinsi Sumatera Utara. Pemerintahan adat mencakup Luhak dan Rantau, dimana Pemerintahan Wilayah Luhak terdiri dari Luhak Tanah Datar, Luhak Limo Puluah dan Luhak Agam. Komisariat Pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi mengeluarkan peraturan tentang pembentukan daerah Otonom Kabupaten di Sumatera Tengah yang terdiri dari 11 Kabupaten yang salah satunya Kabupaten Singgalang Pasaman dengan ibukotanya Bukittinggi yang meliputi kewedanan Agam Tuo, Padang Panjang, Maninjau, Lubuk Sikaping dan Kewedanaan Talu ( kecuali Nagari Tiku, Sasak dan Katiagan). Dalam masa Pemerintahan Belanda, Luhak Agam dirubah statusnya menjadi Afdeling Agam yang terdiri dari Onder Afdeling Distrik Agam Tuo, Onder Afdeling Distrik Maninjau dan Onder Afdeling Distrik Talu. Pada permulaan Kemerdekaan RI tahun 1945 bekas Daerah Afdeling Agam dirubah menjadi Kabupaten Agam yang terdiri dari tiga kewedanan masing-masing Kewedanaan Agam Tuo, Kewedanaan Maninjau dan Kewedanaan Talu. Dengan Surat Keputusan Gubernur Militer Sumatera Tengah No. 171 tahun 1949, daerah Kabupaten Agam diperkecil dimana Kewedanaan Talu dimasukkan ke daerah Kabupaten Pasaman, sedangkan beberapa nagari di sekitar Kota Bukittinggi dialihkan ke dalam lingkungan administrasi Kotamadya Bukittinggi. Keputusan Gubernur Militer Sumatera Tengah tersebut dikukuhkan dengan Undang-undang No. 12 tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Tingkat II dalam lingkungan Propinsi Sumatera Tengah, sehingga daerah ini menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Agam. Pada tanggal 19 Juli 1993 secara de facto, ibukota Kabupaten Agam telah berada di Lubuk Basung yang dikuatkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1998 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Agam Dari Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bukittinggi Ke Kota Lubuk Basung Di Wilayah Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Daerah Tingkat II Agam.
Secara geografis, Kabupaten Agam berada pada pada 000 01’ 34” – 000 28’ 43” LS dan 990 46’ 39” – 1000 32’ 50” BT. Kabupaten Agam terletak pada kawasan yang sangat strategis, dimana dilalui jalur Lintas Tengah Sumatera dan Jalur Lintas Barat Sumatera dan dilalui oleh Fider Road yang menghubungkan Lintas Barat, Lintas Tengah dan Lintas Timur Sumatera yang berimplikasi pada perlunya mendorong daya saing perekonomian, pentingnya memanfatkan keuntungan geografis. Kabupaten Agam adalah kawasan perbukitan/pegunungan dan pesisir yang didominasi oleh kawasan lindung dengan basis ekonomi pertanian (perkebunan lahan kering dan hortikultura) namun sekaligus adalah kawasan rawan bencana dengan sebaran potensi bahaya tsunami, abrasi, gerakan tanah/longsor dan gempa serta letusan gunung berapi. Demikian juga terhadap pemenuhan berbagai infrastruktur yang masih terbatas.
• Sebelah Timur : Kabupaten Lima Puluh Kota • Sebelah Barat : Samudera Indonesia • Sebelah Utara : Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat • Sebelah Selatan : Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Tanah Datar
Kepala Daerah : | Yudas Sabaggalet, S.E., M.M. |
Ibu Kota: | Tuapejat |
Jumlah OPD : | 25 |
Jumlah Kecamatan : | 10 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 43 |
Suku Mentawai sebagai penduduk utama di kabupaten ini, secara garis besar masyarakat ini tidak mempunyai gambaran yang jelas tentang asal usul mereka, walaupun ada di antara mereka mengenal beberapa mitologi yang kadang agak kabur dan sukar dipercaya. Masyarakat setempat menyebut negeri mereka dengan nama Bumi Sikerei. Sebahagian besar penghuni pulau-pulau di kabupaten Kepulauan Mentawai berasal dari pulau Siberut. Masyarakat suku Mentawai secara fisik memiliki kebudayaan agak kuno yaitu zaman neolitikum dimana pada masyarakat ini tidak mengenal akan teknologi pengerjaan logam, begitu pula bercocok tanam maupun seni tenun. Setelah kemerdekaan masyarakat di kabupaten ini telah membaur dengan suku-suku bangsa lain yang ada di Indonesia terutama setelah kabupaten ini menjadi salah satu daerah transmigrasi.
Kabupaten Kepulauan Mentawai terletak memanjang dibagian paling barat pulau Sumatra dan dikelilingi oleh Samudera Hindia. Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah salah satu kabupaten yang terletak di provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan UU RI No. 49 Tahun 1999 dan dinamai menurut nama asli geografisnya. Kepulauan Mentawai terdiri dari serangkaian pulau non-vulkanik dan gugus kepulauan itu merupakan puncak-puncak dari suatu punggung pegunungan bawah laut. Kabupaten ini terdiri dari 4 kelompok pulau utama yang berpenghuni yaitu Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan yang dihuni oleh mayoritas masyarakat suku Mentawai. Selain itu masih ada beberapa pulau kecil lainnya yang berpenghuni namun sebagian besar pulau yang lain hanya ditanami dengan pohon kelapa.
• Sebelah Timur : Samudera Indonesia • Sebelah Barat : Samudera Indonesia • Sebelah Utara : Samudera Indonesia • Sebelah Selatan : Samudera Indonesia
Kepala Daerah : | Capt. H. Epyardi Asda, M.Mar. |
Ibu Kota: | Arosuka |
Jumlah OPD : | 29 |
Jumlah Kecamatan : | 14 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 74 |
Pada tanggal 9 April 1913 nama Solok pertama kali digunakan sebagai nama sebuah unit administrasi setingkat kabupaten yakni Afdeeling Solok sebagaimana disebut dalam Besluit Gubernur Jenderal Belanda yang kemudian dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1913 Nomor 321. Sejak ditetapkannya nama Solok setingkat Kabupaten tahun 1913 (walaupun nama daerah administratifnya berubah-ubah, seperti Bun pada zaman Jepang, Luhak pada zaman kemerdekaan dan kemudian Kabupaten hingga sekarang), Solok tetap digunakan sebagai daerah administratif pemerintahan. Pada tahun 1970, ibukota Kabupaten Solok berkembang dan ditetapkan menjadi sebuah kotamadya dengan nama Kotamadya Solok. Berubah statusnya Ibukota Kabupaten Solok menjadi sebuah wilayah pemerintahan baru tidak diiringi sekaligus dengan pemindahan ibukota ke lokasi baru. Pada tahun 1979 Kabupaten Solok baru melakukan pemindahan pusat pelayanan pemerintahan dari Kota Solok ke Koto Baru Kecamatan Kubung namun secara yuridis Ibukota Kabupaten Solok masih tetap Solok. Dengan dikeluarkannya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah kabupaten/kota diberikan kewenangan yang nyata dan luas serta tanggung jawab penuh untuk mengatur daerahnya masing-masing. Kabupaten Solok yang saat itu memiliki luas 7.084,2 Km² memiliki kesempatan untuk melakukan penataan terhadap wilayah administrasi pemerintahannya. Penataan pertama dilakukan pada tahun 1999 dengan menjadikan wilayah kecamatan yang pada tahun 1980 ditetapkan sebanyak 13 kecamatan induk ditingkatkan menjadi 14 sementara jumlah desa dan kelurahan masih tetap sama. Pada akhir tahun 2003, Kabupaten Solok kembali dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Solok dan Kabupaten Solok Selatan. Pemekaran ini di lakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 38 tahun 2003 dan menjadikan luas wilayah Kabupaten Solok berkurang menjadi 3.738 Km². Pemekaran inipun berdampak terhadap pengurangan jumlah wilayah administrasi Kabupaten Solok menjadi 14 Kecamatan, 74 Nagari dan 403 Jorong. Dengan berbagai pertimbangan dan telaahan yang mendalam atas berbagai momentum yang sangat bersejarah bagi Solok secara umum, pemerintah daerah dan masyarakat menyepakati peristiwa pencantuman nama Solok pada tanggal 9 April 1913 sebagai sebuah nama unit administrasi setingkat kabupaten di zaman belanda sebagai momentum pijakan yang akan diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Solok. Kesepakatan inipun dikukuhkan dengan Perda Nomor 2 tahun 2009 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Solok.
Kabupaten Solok, sebuah wilayah pemerintahan di Propinsi Sumatera Barat yang terletak pada posisi antara 01º 20’27”-01º 21’39” Lintang Selatan dan 100º 25’00’-100º 33’43’ Bujur Timur. Ditinjau dari komposisi pemanfaatan lahan, pada tahun 2009 sebagian besar (38.88%) wilayah Kabupaten Solok masih berstatus hutan negara dan 16.02% berstatus hutan rakyat. Sedangkan yang diolah rakyat untuk ladang/kebun 10.32% dan dikelola perusahaan perkebunan 2.09%. Pemanfaatan lahan untuk sawah lebih kurang 6.30% dan merupakan areal sawah terbesar di Sumatera Barat. Sebagai sentra produksi padi di Sumatera Barat, pada tahun 2009 areal sawah terluas di Kabupaten Solok berada di Kecamatan Gunung Talang, kemudian diikuti oleh Kecamatan Kubung, dan Bukit Sundi. Kecamatan-kecamatan lain luas areal sawahnya masih di bawah angka 3000 Ha.
• Sebelah Barat : Kota Padang dan Kab. Pesisir Selatan • Sebelah Utara : Kabupaten Tanah Datar • Sebelah Timur : Kabupaten Sawahlunto / Sijunjung • Sebelah Selatan : Kabupaten Solok Selatan
Kepala Daerah : | H. Khairunas, S.IP., M.Si. |
Ibu Kota: | Padang Aro |
Jumlah OPD : | 28 |
Jumlah Kecamatan : | 7 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 39 |
Wilayah Kabupaten Solok Selatan terletak pada ketinggian 350–430 meter di atas permukaan laut. Luas wilayahnya mencapai 359.013 Ha, yang terdiri dari 150.532 Ha kawasan hutan lindung (41,93%) dan 208.481 Ha (58,07%) kawasan budidaya. Bentang alamnya bervariasi antara dataran rendah, perbukitan, dan dataran tinggi yang merupakan rangkaian dari pegunungan Bukit Barisan. Secara topografis, bagian timur kabupaten ini merupakan kawasan dataran tinggi yang relatif bergelombang mulai dari Lubuk Malako di Kecamatan Sangir Jujuan ke arah utara sampai ke wilayah Kecamatan Sangir Batanghari. 69,19% dari wilayah Solok Selatan memiliki kemiringan di atas 40 derajat yang tergolong sangat curam dan rawan terhadap bahaya longsor dan hanya sekitar 15,02 yang tergolong datar dan landai. Bagian barat merupakan kawasan lembah di kaki pegunungan yang menempati wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan dan Gunung Kerinci. Bagian utara dan tengah sendiri didominasi oleh perbukitan. Kabupaten Solok Selatan secara umum beriklim tropis dengan temperatur bervariasi antara 20 °C hingga 33 °C. Curah hujannya cukup tinggi yaitu 1.600–4.000 mm/tahun dengan kelembaban udara berkisar 80%. Sepanjang tahun terdapat dua musim, yaitu musim penghujan yang umumnya terjadi selama periode Januari-Mei dan September-Desember, dan musim kemarau selama periode Juni-Agustus.
Wilayah Kabupaten Solok Selatan terletak pada ketinggian 350–430 meter di atas permukaan laut. Luas wilayahnya mencapai 359.013 Ha, yang terdiri dari 150.532 Ha kawasan hutan lindung (41,93%) dan 208.481 Ha (58,07%) kawasan budidaya. Bentang alamnya bervariasi antara dataran rendah, perbukitan, dan dataran tinggi yang merupakan rangkaian dari pegunungan Bukit Barisan. Secara topografis, bagian timur kabupaten ini merupakan kawasan dataran tinggi yang relatif bergelombang mulai dari Lubuk Malako di Kecamatan Sangir Jujuan ke arah utara sampai ke wilayah Kecamatan Sangir Batanghari. 69,19% dari wilayah Solok Selatan memiliki kemiringan di atas 40 derajat yang tergolong sangat curam dan rawan terhadap bahaya longsor dan hanya sekitar 15,02 yang tergolong datar dan landai. Bagian barat merupakan kawasan lembah di kaki pegunungan yang menempati wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan dan Gunung Kerinci. Bagian utara dan tengah sendiri didominasi oleh perbukitan. Kabupaten Solok Selatan secara umum beriklim tropis dengan temperatur bervariasi antara 20 °C hingga 33 °C. Curah hujannya cukup tinggi yaitu 1.600–4.000 mm/tahun dengan kelembaban udara berkisar 80%. Sepanjang tahun terdapat dua musim, yaitu musim penghujan yang umumnya terjadi selama periode Januari-Mei dan September-Desember, dan musim kemarau selama periode Juni-Agustus.
• Sebelah Utara: Kabupaten Solok • Sebelah Selatan: Provinsi Jambi • Sebelah Barat: Kabupaten Pesisir Selatan • Sebelah Timur: Kabupaten Dharmasraya
Kepala Daerah : | H. Benny Utama, S.H., M.M. |
Ibu Kota: | Lubuk Sikaping |
Jumlah OPD : | 26 |
Jumlah Kecamatan : | 12 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 37 |
Pada zaman Belanda Kabupaten Pasaman termasuk Afdeling Agam, afdeling ini dikepalai oleh seorang asisten residen. Afdeling Agam terdiri atas 4 onder afdeling, yaitu : 1) Agam Tuo 2)Maninjau 3)Lubuk Sikaping 4)Ophir. Sesudah kemerdekaan Onder Afdeling Agam Tuo dan Maninjau digabung menjadi Kabupaten Agam dan Onder Afdeling Lubuk Sikaping dan Ophir dijadikan satu susunan pemerintahan menjadi Kabupaten Pasaman. dengan dibagi menjadi 3 Kewedanaan yaitu, Kewedanaan Lubuk Sikaping, Kewedanaan Talu, dan Kewedanaan Air Bangis dengan pusat pemerintahan Kabupaten Pasaman di Talu. Pada Agustus 1947 sewaktu Basyrah Lubis menjadi Bupati maka ibu kota Kabupaten Pasaman dipindahkan ke Lubuk Sikaping. Untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam percepatan pelayanan pemerintahan, maka wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Pasaman dimekarkan menjadi 2 (dua) wilayah pemerintahan kabupaten yang ditetapkan dengan Undang-Undang No: 36 Tahun 2003, yaitu Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat. Hari Jadi Pasaman: Melihat dari perkembangan pembentukan Kabupaten Pasaman dari zaman Belanda hingga zaman Kemerdekaan, maka dibentuk suatu Tim untuk merumuskan hari jadi Kabupaten Pasaman. Dengan mengacu pada perkembangan sejarah, dalam menjalankan roda pemerintahan, pernah dikeluarkan keputusan Residen Sumatera Barat No. R.I/I tanggal 8 Oktober 1945 menetapkan sebagai berikut : Luhak Kecil Talu : Abdul Rahman gelar Sutan Larangan. Mengacu pada keputusan tersebut, Tim yang dibentuk merumuskan dan DPRD Kabupaten Pasaman mengeluarkan keputusan No.11 /KPTS /DPR/PAS/ 1992 tanggal 22 Pebruari 1992 dilanjutkan surat keputusan Bupati Kabupaten Pasaman no. 188.45/81/BUPAS/1992 tanggal 26 Pebruari 1992 ditetapkanlah hari jadi Kabupaten Pasaman pada tanggal 8 Oktober 1945.
• Sebelah Utara: Kabupaten Mandailing Natal (Provinsi Sumut) • Sebelah Timur: Kabupaten Rokan Hulu (Provinsi Riau) dan Kabupaten Limapuluh Kota • Sebelah Selatan: Kabupaten Agam • Sebelah Barat: Kabupaten Mandailing Natal (Provinsi Sumut) dan Kabupaten Pasaman Barat
Secara Geografis dilintasi khatulistiwa dan berada pada 0 55’ Lintang Utara ssampai Lintang Selatan dan 00 45’ Bujur Timur sampai dengan 100 21’ Bujur Timur. Ketinggian antara 50 meter sampai dengan 2.240 meter di atas permukaan laut. Pada beberapa Kecamatan terdapat beberapa gunug, seperti Gunung Ambun di Bonjol, Gunung Sigapuak dan Kulabu di Dua Koto, Malenggang di Rao dan Gunung Tambin yang mmerupakan Gunung tertinggi di wilayah ini terletak di Kecamatan Lubuk Sikaping.
Kepala Daerah : | H. Hamsuardi |
Ibu Kota: | Simpang Ampek |
Jumlah OPD : | 33 |
Jumlah Kecamatan : | 11 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 19 |
Kabupaten Pasaman Barat merupakan salah satu dari 3 (tiga) Kabupaten Pemekaran di Provinsi Sumatra Barat, berdasarkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Dharmasraya, Solok Selatan dan Pasaman Barat. Daerah ini dibentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Pasaman berdasarkan UU No.38 Tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003, dengan ibu kota kabupaten di Simpang Ampek.
Secara geografis Kabupaten Pasaman Barat terletak di antara 00° 33’ Lintang Utara sampai 00° 11’ Lintang Selatan dan 99° 10’ sampai 100° 04’ Bujur Timur. Topografi Sunting Secara umum topografi daerah Kabupaten Pasaman Barat adalah datar dan sedikit bergelombang, sedangkan daerah bukit dan bergunung hanya terdapat di Kecamatan Talamau dan Gunung Tuleh. Ketinggian daerah bervariasi dari 0 sampai 913 meter di atas permukaan laut. Wilayah datar dengan kemiringan 0-3%, datar bergelombang dengan kemiringan 3-8%, berombak dan bergelombang dengan kemiringan lereng 8%-15% serta wilayah bukit bergunung dengan kemiringan lereng di atas 15%.
Sebelah Utara dengan Kab. Mandailing Natal, Prov. Sumatera Utara • Sebelah Timur dengan Kab. Pasaman • Sebelah Selatan dengan Kab. Agam • Sebelah Barat dengan Samudera Hindia
Kepala Daerah : | H. Emran Safar, S.H. |
Ibu Kota: | Kota Bukittinggi |
Jumlah OPD : | 28 |
Jumlah Kecamatan : | 3 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 24 |
Pada awalnya, Bukittinggi merupakan salah satu nagari di Luhak Agam yang pada zaman dahulu lebih dikenal dengan sebutan Nagari Kurai. Dalam buku Tambo Alam Minangkabau tulisan Ibrahim Dt Sanggano Dirajo disebutkan bahwa keberadaan Nagari Kurai dimulai dari perpindahan penduduk yang berasal dari Pariangan, Padang Panjang. Dari empat gelombang perpindahan penduduk, Nagari Kurai dibentuk oleh gelombang kedua yang dalam keberangkatannya terdiri dari empat kelompok. Selain Nagari Kurai, tiga nagari lain yang terbentuk dari rombongan tersebut adalah Nagari Canduang, Koto Laweh dan Banuhampu. Secara harfiah, nama Bukittinggi memiliki arti bukit yang tinggi, hal tersebut sesuai dengan wilayah Bukittinggi yang secara geografis berada di area perbukitan. Setidaknya terdapat 27 buah bukit yang ada di area Nagari Kurai, bukit-bukit tersebut adalah Bukik Kubangan Kabau, Bukik Jirek, Bukik Sarang Gagak, Bukik Tambun Tulang, Bukik Cubadak Bungkuak, Bukik Malambuang, Bukik Mandiangin, Bukik Ambacang, Bukik Upang-Upang dan Bukik Pauh. Selanjutnya adalah Bukik Lacir, Bukik Jalan Aua nan Pasa, Bukik Cindai, Bukik Campago, Bukik Gumasik, Bukik Gamuak, Bukik Guguk BuIek, Bukik Sangkak, Bukik Apik, Bukik Pinang nan Sabatang, Bukik Cangang, Bukik Parit, Bukik Nantuang, Bukik Sawah Laweh, Bukik Batarah, Bukik Pungguak, Bukik Paninjauan, dan Bukik Gulimeh. Dari seluruh bukit tersebut, Bukik Kubangan Kabau adalah bukit tertinggi dengan ketinggian 936 meter di atas permukaan laut. Selain itu, Bukik Kubangan Kabau pada masanya digunakan sebagai tempat bermusyawarah oleh para penghulu di Nagari Kurai V Jorong. Berdasarkan kesepakatan bersama, kemudian bukit tersebut berganti nama menjadi Bukik Nan Tatinggi yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Bukittinggi. Bukittinggi dalam kehidupan ketatanegaraan semenjak zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang serta zaman kemerdekaan dengan berbagai variasinya tetap merupakan pusat Pemerintahan Sumatera bahagian Tengah maupun Sumatera secara keseluruhan, bahkan Bukittinggi pernah berperan sebagai Pusat Pemerintahan Republik Indonesia setelah Yogyakarta diduduki Belanda dari bulan Desember 1948 sampai dengan bulan Juni 1949. Semasa pemerintahan Belanda dahulu, Bukittinggi oleh Belanda selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan, dari apa yang dinamakan Gemetelyk Resort berdasarkan Stbl tahun 1828. Belanda telah mendirikan kubu pertahanannya tahun 1825, yang sampai sekarang kubu pertahanan tersebut masih dikenal dengan Benteng "Fort De Kock". Kota ini telah digunakan juga oleh Belanda sebagai tempat peristirahatan opsir-opsir yang berada di wilayah jajahannya di timur ini. Oleh pemerintah Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian Pemerintah militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand karena disini berkedudukan komandan Militer ke 25. Pada masa ini Bukittinggi berganti nama dari Taddsgemente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari Sianok, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu taba dan Bukit Batabuah yang sekarang kesemuanya itu kini berada dalam daerah Kabupaten Agam, di kota ini pulalah Pemerintah bala tentara Jepang mendirikan pemancar radio terbesar untuk pulau Sumatera dalam rangka mengobarkan semangat rakyat untuk menunjang kepentingan perang Asia Timur Raya versi Jepang. Pada zaman perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan. Dari bulan Desember 1948 sampai dengan bulan Juni 1949 ditunjuk sebagai ibu kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Selanjutnya Bukittinggi pernah menjadi Ibukota Propinsi Sumatera dengan Gubernurnya Mr. Tengku Muhammad Hasan. Kemudian dalam peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang No. 4 tahun 1959 Bukittinggi ditetapkan sebagai Ibu Kota Sumatera Tengah yang meliputi keresidenan-keresidenan Sumatera Barat, Jambi dan Riau yang sekarang masing-masing Keresidenan itu telah menjadi Propinsi-propinsi sendiri. Setelah keresidenan Sumatera Barat dikembangkan menjadi Propinsi Sumatera Barat, maka Bukittinggi ditunjuk sebagai ibu kota Propinsi. Semenjak tahun 1958 secara defacto Ibukota Propinsi telah pindah ke Padang, namun pada tahun 1978 secara de jure barulah Bukittinggi tidak lagi menjadi Ibukota Propinsi Sumatera Barat dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1979 yang memindahkan ibukota Propinsi Sumatera Barat ke Padang. Sekarang ini Bukittinggi berstatus sebagai kota madya daerah tingkat II sesuai dengan Undang-undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok Pemerintah di Daerah yang telah disempurnakan dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 menjadi Kota Bukittinggi.
Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau Sumatra, dan dikelilingi oleh dua gunung berapi yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Marapi. Kota ini berada pada ketinggian 909–941 meter di atas permukaan laut, dan memiliki hawa sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1–24.9 °C. Sementara itu, dari total luas wilayah Kota Bukittinggi saat ini (25,24 km²), 82,8% telah diperuntukkan menjadi lahan budidaya, sedangkan sisanya merupakan hutan lindung. Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah perkotaan, di antaranya Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, Bukit Paninjauan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat lembah yang dikenal dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75–110 m, yang di dasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang.
• Sebelah Timur : Kabupaten Agam • Sebelah Barat : Kabupaten Agam • Sebelah Utara : Kabupaten Agam • Sebelah Selatan : Kabupaten Agam
Kepala Daerah : | Riza Falepi, S.T., M.T. |
Ibu Kota: | Kota Payakumbuh |
Jumlah OPD : | 26 |
Jumlah Kecamatan : | 5 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 47 |
Payakumbuh, yang jauh sebelum menjadi sebuah kota administratif hasil pemekaran dari Kabupaten Limapuluh Kota, Payakumbuh sudah menjadi labuhan kisah perjalanan manusia. Termasuk, kisah 50 orang yang berjalan dari lereng Gunung Marapi di Pariangan, Tanah Datar, menuju kaki Gunung Sago, Limapuluh Kota, untuk mencari permukiman baru. Perjalanan 50 orang ini, tidak hanya terekam dalam Tambo (karya sastra sejarah yang merekam kisah-kisah dan legenda-legenda yang berkaitan dengan asal-usul suku bangsa, negeri dan tradisi dan alam Minangkabau). Namun juga dicatat oleh para penulis adat Minangkabau. Misalnya saja, H DJ Dt Lubuak Sati yang menulis buku “Baradat Ka Pariangan, Barajo Ka Pagaruyuang” (1988) dan Kamardi Rais Dt Panjang Simulie yang menulis buku “Mesin Ketik Tua” (2005). Dalam bukunya, H DJ Dt Lubuk Sati menyebut 50 orang yang berjalan dari Pariangan, Tanah Datar menuju Gunung Sago, Limapuluh Kota sebagai rombongan 50 kaum. Rombongan 50 kaum ini, menurut hasil penelitian sejumlah universitas, berangkat dari Pariangan dengan melewati Sungai Jambu, Tabek Patah, Tanjuang Alam, Tungka, Bukit Junjuang Siriah, Bawah Burai, Aia Taganang, Padang Kubuang, Padang si Janti-janti, Lurah Pimpiang, Lurah Luak Kuntu, Lurah Basuduik, Lurah Sumua Sati, Lurah Jalan Binti, dan Ngalau. Dalam perjalanan, rombongan 50 kaum ini sempat berhenti di sebuah kawasan padang rumput nan luas. Penduduk lokal menyebut kawasan itu sebagai Padang Siribu-Ribu. Saat rombongan 50 kaum ini bermalam di sana, tiba-tiba saja datang angin kencang. Membuat mereka menjadi panik dan cemas. Kepanikan makin bertambah, manakala keesokan paginya, sebanyak 5 anggota rombongan, hilang entah ke mana. Mereka bukan hilang tak tentu rimbanya. Namun, mereka duluan melanjutkan perjalanan ke arah Timur, dengan menelusuri pinggiran sungai. Mereka inilah yang diyakini menghuni daerah Limo Koto di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Yakni, Kuok, Salo, Bangkinang, Air Tiris, dan Rumbio. Kembali pada cerita awal, saat 5 kaum yang hilang sudah pergi ke Riau, sebanyak 45 kaum yang bermalam di Padang Siontah, melanjutkan perjalanan secara berpencar. Ada rombongan yang berjalan ke arah matahari terbenam dan terdampar di sebuah aliran sungai yang tertumbuk ke tebing dan bukit batu. Di daerah inilah, mereka mendapati sebatang pohon bernama “Kayu Ipuh”. Belakangan, kawasan tempat “Kayu Ipuh” itu tumbuh dikenal sebagai Limbanang di Kecamatan Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota. Selain itu, juga ada anggota rombongan dari Padang Siontah yang terus mengikuti aliran sungai dan berhenti di kaki gunung kecil bernama Gunung Bungsu yang kini berada di Nagari Taeh Bukik, Kabupaten Limapuluh Kota. Dari Gunung Bungsu ini, mereka juga berjalan ke daerah yang sekarang disebut Mungka. Kemudian, ada juga anggota rombongan 45 kaum yang bermalam di Padang Siontah, melanjutkan perjalanan mereka ke kawasan “Kumbuah Nan Payau” atau “Payau Nan Kumbuah”, “Titian Aka”, dan “Aia Tabik”. Kawasan “Kumbuah Nan Payau” atau “Payau Nan Kumbuah”, “Titian Aka”, dan “Aia Tabik” itu, jelas berada di wilayah Kota Payakumbuh sekarang. Menurut H DJ Dt Lubuak Sati dan Kamardi Rais Dt Panjang Simulie, saat rombongan yang bermalam di Padang Siontah sampai di kawasan “Kumbuah Nan Payau” atau “Payau Nan Kumbuah”, “Titian Aka”, dan “Aia Tabik”, ternyata di ketiga kawasan ini, sudah ada tiga orang yang lebih dahulu menghuninya. Ketiga orang yang diyakini sebagai penghuni pertama Payakumbuh itu bernama Jano Katik atau Jhino Kotik di Aia Tabik. Kemudian, Rajo Panawa di Titian Aka dan Barabih Nasi di Kumbuah Nan Payau atau Payau Nan Kumbuah. Ketiga orang ini, dalam “barih-balabeh” (asal usul) Payakumbuh disebut sebagai “Tigo Niniak” atau Tiga Nenek Moyang. Kota Payakumbuh terutama pusat kotanya dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sejak keterlibatan Belanda dalam Perang Padri, kawasan ini berkembang menjadi depot atau kawasan gudang penyimpanan dari hasil tanam kopi dan terus berkembang menjadi salah satu daerah administrasi distrik pemerintahan kolonial Hindia Belanda waktu itu. Menurut tambo setempat, dari salah satu kawasan di dalam kota ini terdapat suatu nagari tertua yaitu nagari Aie Tabik dan pada tahun 1840, Belanda membangun jembatan batu untuk menghubungkan kawasan tersebut dengan pusat kota sekarang. Jembatan itu sekarang dikenal juga dengan nama Jembatan Ratapan Ibu. Payakumbuh sejak zaman sebelum kemerdekaan telah menjadi pusat pelayanan pemerintahan, perdagangan dan pendidikan terutama bagi Luhak Limo Puluah. Pada zaman pemerintahan Belanda, Payakumbuh adalah tempat kedudukan asisten residen yang menguasai wila¬yah Luhak Limo Puluah, dan pada zaman pemerintahan Jepang, Payakumbuh menjadi pusat kedudukan pemerintah Luhak Limo Puluah.
Kota Payakumbuh terletak di daerah dataran tinggi yang merupakan bagian dari Bukit Barisan. Berada pada hamparan kaki Gunung Sago, bentang alam kota ini memiliki ketinggian yang bervariasi. Topografi daerah kota ini terdiri dari perbukitan dengan rata-rata ketinggian 514 m di atas permukaan laut. Wilayahnya dilalui oleh tiga sungai, yaitu Batang Agam, Batang Lampasi dan Batang Sinama. Suhu udaranya rata-rata berkisar antara 26 °C dengan kelembapan udara antara 45–50%. Payakumbuh berjarak sekitar 30 km dari Kota Bukittinggi atau 120 km dari Kota Padang dan 188 km dari Kota Pekanbaru. Wilayah administratif kota ini dikelilingi oleh Kabupaten Lima Puluh Kota.
• Sebelah Timur : Kabupaten Lima Puluh Kota • Sebelah Barat : Kabupaten Lima Puluh Kota • Sebelah Utara : Kabupaten Lima Puluh Kota • Sebelah Selatan : Kabupaten Lima Puluh Kota
Kepala Daerah : | Suhatri Bur, S.E., M.M. |
Ibu Kota: | Parit Malintang |
Jumlah OPD : | 28 |
Jumlah Kecamatan : | 17 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 60 |
Masyarakat Padang Pariaman, masih menurut narasi tambo, turun dari darek minangkabau, dari pedalaman tengah sumatera. Berdasarkan pengakuan dari masyarakat padang pariaman sendiri mereka berasal dari Paguruyung Batusangkar (Luhak Tanah Datar), yang terletak di darek minangkabau (Pemda Tk I Sumbar, 1978;7). Rantau Pariaman, selanjutnya menurut Dobbin, didirikan oleh imigran yang berasal dari Batipuh yang dianggap memiliki landasan kerajaan (Dobbin, 2008:84). Dalam waktu yang tidak pernah diketahui secara pasti, berkemungkinan sejak tahun 1300 M, para perantau awal (peneruka/panaruko) tersebut turun bergelombang ke wilayah pantai barat dan membuka pemukiman. Desa-desa awal di pantai Padang Pariaman, menurut catatan Suryadi, sesuai perjalanan waktu lalu menjadi entrepot-entrepot dagang dan pelabuhan. Entrepot dagang dan pelabuhan tersebut dikembangkan oleh orang -orang dari kampung-kampung tertentu didarek (seperti yang telah disebut diatas), yang semula tujuannya untuk memajukan kepentingan dagang mereka sendiri. Ketika pemukiman koloni itu semangkin berkembang, daerah-daerah pemukiman juga terus membesarkan dirinya. Setelah kemerdekaan, Daerah administrasi periode kolonial, priaman, tikoe en de danau districten kemudian disahkan menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Padang Pariaman berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 1956 dengan ibukota Kota Pariaman. Pada awalnya Kabupaten Padang Pariaman sesuai dengan Peraturan Komisaris Pemerintah di Sumatera No 81/Kom/U/1948 tentang Pembagian Kabupaten di Sumatera Tengah yang terdiri dari 11 Kabupaten diantaranya disebut dengan nama Kabupaten Samudera dengan ibukotanya Pariaman, meliputi daerah kewedanaan Air Bangis, Pariaman, Lubuk Alung, Padang Luar-Kota, Mentawai dan Nagari-Nagari Tiku, Sasak dan Katiagan. Kabupaten Samudera ini terdiri dari 17 wilayah (gabungan nagari-nagari). Kabupaten Padang Pariaman dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1956 tanggal 19 Maret 1956 tentang Pembentukan Daerah otonom Kabupaten Dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Tengah, dimana Propinsi Sumatera tengah dibentuk menjadi 14 Kabupaten, yang salah satunya adalah Kabupaten Padang/Pariaman dengan batas-batas sebagai yang dimaksud dalam pasal 1 dari Surat Ketetapan Gubernur Militer Sumatera Tengah tanggal 9 Nopember 1949 No. 10/G.M/S.T.G./49, dikurangi dengan daerah Kampung-Kampung Ulak Karang, Gunung Pangilun, Marapalam, Teluk Bajur, Seberang Padang dan Air Manis dari kewedanaan Padang Kota yang telah dimasukkan kedalam daerah Kota Padang, sebagai dimaksud dalam Surat ketetapan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Tengah Tanggal 15 Agustus 1950 No. 65/G.P./50 Bupati Padang Pariaman semasa Agresi Milter Belanda Tahun 1948 adalah Mr. BA. Murad. Kabupaten Padang Pariaman sampai tahun 2016 memiliki 17 Kecamatan, dan 103 nagari yang setelah dilakukan pemekaran nagari sesuai dengan Surat Gubernur Sumatera Barat Nomor 120/453/PEM-2016 tanggal 26 Mei 2016, sehingga di Kabupaten Padang Pariaman terdapat 103 Nagari.
Secara geografis, Kabupaten Padang Pariaman memiliki luas wilayah 1.328,79 Km² dengan panjang garis pantai 42,1 Km yang membentang hingga wilayah gugusan Bukit Barisan. Luas daratan daerah ini setara dengan 3,15 persen luas daratan wilayah Propinsi Sumatera Barat. Posisi astronomis Kabupaten Padang Pariaman terletak antara 0°11’-0°49’ Lintang Selatan dan 98°36’ – 100°28’ Bujur Timur. Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam tercatat memiliki wilayah paling luas, yakni 228,70 km², sedangkan Kecamatan Sintuk Toboh Gadang memiliki luas wilayah terkecil, yakni 25,56 km². Kecamatan 2×11 Kayu Tanam berada di wilayah yang paling tinggi yaitu 100 – 1000 m dari permukaan laut (dpl) sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Batang Gasan dengan ketinggian 2 – 75 m dari permukaan laut (dpl).
Kepala Daerah : | Benny Dwifa Yuswir, S.STP., M.Si |
Ibu Kota: | Muaro Sijunjung |
Jumlah OPD : | 26 |
Jumlah Kecamatan : | 8 |
Jumlah Desa/kelurahan : | 61 |
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung termasuk wilayah Afdeling Solok dengan ibu kotanya Sawahlunto. Afdeling Solok mempunyai beberapa Onder Afdeling, salah satu diantaranya adalah Onder Afdeling Sijunjung dengan ibu negerinya Sijunjung. Ini berlangsung sampai pada zaman pemerintahan Jepang. Sesudah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, pada Oktober 1945 dibentuk Kabupaten Tanah Datar dengan ibu kotanya Sawahlunto yang wilayahnya meliputi beberapa kewedanan, yaitu Batu Sangkar, Padang Panjang, Solok, Sawahlunto dan Sijunjung. Dalam rangka melanjutkan perjuangan kemerdekaan, Gubernur Militer Sumatra Barat, berdasarkan surat keputusan Nomor : SK/9/GN/IST tanggal 18 Februari 1949 membentuk kabupaten baru, yakni Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung, dengan Bupati Militernya Sulaiman Tantuah Bagindo Ratu. Kemudian untuk melaksanakan tugasnya, Bupati Militer Sulaiman Tantuah Bagindo Ratu mengadakan rapat di Masjid Koto Gadang Tanjung Bonai Aur.Dalam rapat ini hadir Rustam Efendi (Camat Koto VII), Amir Mahmud (Wali Perang Nagari Limo Koto), M. Syarif Datuk Gunung Emas, M. Zen Datuk Bijo Dirajo, Hasan Basri dan Darwis (staf Kantor Camat Koto VII), Marah Tayab, Maju Arif, M. Saman, Ahmadi, Malin Dubalang (Wali Perang Nagari Tanjung Bonai Aur), Saidin Datuk Perpatih Suanggi, Jamiruddin Mantari Sutan, Jasam Gelar Pandito Sampono dan Datuk Putih. Rapat tersebut menghasilkan beberapa keputusan, antara lain menunjuk pembantu/staf penasehat Bupati Militer Sawahlunto/Sijunjung: M. Syarif Datuk Gunung Emas, M. Zen Datuk Bijo Dirajo dari Tanjung Ampalu, H. Syafei Idris dari Padang Laweh dan Marah Tayab dari Sumpur Kudus. Staf administrasi terdiri dari Hasan Basri dan Darwis dari Kantor Camat Koto VI. Staf perbekalan/logistik, Malin Dubalang (Walinagari Perang Tanjung Bonai Aur), Saidin Datuk Perpatih Suanggi, Jasam Gelar Pandito Sampono, Jamiruddin Sutan dan Datuk Patih. Keputusan lain, akan diadakan lagi rapat dengan tokoh masyarakat dari para komandan front Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung pada tanggal 28 Februari 1949. Tempat rapat akan ditentukan kemudian oleh komandan sektor dan komandan front. Dalam rangka persiapan rapat dimaksud, diberikan tanggungjawab kepada Salim Halimi untuk menghubungi dan mencari Ahmad Jarjis Bebas Thani, Makmun Datuk Rangkayo Mulie (Jaksa) dan tokoh lainnya.Pada tanggal 28 Februari 1949 dilaksanakan rapat yang lebih lengkap, dihadiri tokoh masyarakat dan komandan front Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung. Di sini, Tantuah Bagindo Ratu, sesuai SK Gubernur Militer Sumatra Barat Nomor: 49/G.M.Ist-1949 tanggal 18 Februari 1949, diresmikan menjadi Bupati Militer Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung. Pada tanggal 17 Mei 1949, pemerintah darurat Republik Indonesia mengadakan rapat di Sumpur Kudus yang dilanjutkan lagi dengan rapat khusus mengenai Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung. Dalam rapat khusus ini hadir tokoh-tokoh, antara lain Mr. Muhammad Rasyid (Gubernur Militer Sumatra Barat), Juwir Muhammad dan H. Ilyas Yakub (staf penasehat gubernur), Bupati Militer Sawahlunto/Sijunjung Tantuah Bagindo Ratu bersama staf, H. Rusli Abdul Wahid (Wedana Sijunjung), Nurdin Datuk Majo Sati (Wedana Sawahlunto), Rustam Efendi (Wedana Tanjung Ampalu) dan lain-lain. Rapat tersebut melahirkan keputusan, antara lain, Bupati Militer Sulaiman Tantuah Datuk Bagindo Ratu dipindahkan ke pemerintahan pusat. Ahmad Jarjis Bebas Thani, Sekretaris Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung, ditunjuk melaksanakan tugas Bupati Militer Sawahlunto/Sijunjung, sebagai Plt. Keputusan lain penggantian beberapa wedana dan camat. Mengingat perkembangan situasi saat itu, ibu kota Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung selalu berpindah-pindah, antara lain di Tanjung Bonai Aur, Tamparungo, Durian Gadang, Sungai Betung, Sibakur, Langki, Buluh Kasok, Lubuk Tarok, sampai pada ceas fire berkedudukan di Palangki. Setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada pemerintahan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, ibu kota Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung ditetapkan menjadi daerah otonomi Sawahlunto/Sijunjung dalam lingkungan Provinsi Sumatra Tengah. Melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956, dibentuk kota kecil Padang Panjang, Payakumbuh dan Sawahlunto. Kota kecil Sawahlunto beribu kota di Sawahlunto, Kepala daerahnya dirangkap oleh Kepala daerah tingkat II Sawahlunto/Sijunjung. Tahun 1960 ibukota Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung dipindahkan dari Sawahlunto ke Sijunjung. Pada tahun 1966 dipindahkan lagi ke Muaro Sijunjung, sesuai persetujuan DPR GR Nomor 10 tahun 1970 tanggal 30 Mei 1970 yang kemudian disahkan oleh Menteri Dalam Negeri melalui surat keputusannya Nomor 59 tahun 1973. Selanjutnya melalui sidang pleno DPRD Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung, tanggal 25 November 1982 telah disepakati tanggal 18 Februari ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung yang dituangkan dalam surat keputusan DPRD Nomor 13/KPTS/DPRD-SS/1982 tentang hari jadi Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung. Perkembangan selanjutnya pada tahun 1984/1985 Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung yang semula terdiri dari sembilan kecamatan, dimekarkan menjadi 13 kecamatan. Kecamatan induk terdiri dari, Kecamatan Talawi, Sawahlunto, Sumpur Kudus, Koto VII, IV Nagari, Sijunjung, Tanjung Gadang, Pulau Punjung dan Kecamatan Koto Baru. Kecamatan Perwakilian, Sijunjung di Lubuk Tarok, Tanjung Gadang di Kamang, Pulau Punjung di Sitiung dan Kecamatan Perwakilan Koto Baru di Sungai Rumbai.Pada tahun 1985, guna mempelancar tugas bupati, dibentuk pembantu bupati Sawahlunto/Sijunjung wilayah Selatan yang berkedudukan di Sungai Dareh. Kemudian pada tahun 2000 kelembagaan kantor pembantu bupati ini dihapuskan, sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1990 tanggal 1 September 1990 tentang perubahan batas dan luas Kotamadya Sawahlunto, Kabupaten Solok dan Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung, seluruh Kecamatan Talawi dan sebagian Kecamatan Sawahlunto dimasukan ke Kotamadya Sawahlunto. Sedangkan sisanya dibentuk menjadi satu kecamatan baru, yaitu Kecamatan Kupitan. Perkembangan kemudian, berdasarkan peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1995, Kecamatan Perwakilan Pulau Punjung di Sitiung dan Kecamatan Perwakilan Koto Baru di Sungai Rumbai, pada tanggal 22 Nopember 1995 diubah statusnya menjadi kecamatan defenitif, yaitu Kecamatan Sitiung dan Kecamatan Sungai Rumbai. Selanjutnya, berdasarkan peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 tahun 1999, Kecamatan Perwakilan Tanjung Gadang di Kamang, pada tanggal 29 Juli 1999 diubah statusnya menjadi kecamatan defenitif dengan nama Kecamatan Kamang Baru. Terakhir melalui peraturan daerah Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung Nomor 8 tahun 2000, Kecamatan Perwakilan Sijunjung di Lubuk Tarok diubah statusnya menjadi kecamatan defenitif dengan nama Kecamatan Lubuak Tarok. Diresmikan pada tanggal 28 Agustus 2000 oleh Bupati Sawahlunto/Sijunjung.Sesuai dengan identitas dan corak budaya serta keragaman masyarakat Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung, telah disepakati motto daerah ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’ yang tertuang dalam SK dewan No.14/DPRD-SS/1987 tanggal 5 November 1987. SK tersebut disahkan oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 23 November 1988 No.SK.050.23.815. Untuk mencerminkan identitas Muaro Sijunjung sebagai ibu kota Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung, DPRD dengan surat keputusannya tanggal 21 April 1990 No.03/SK/DPRD-SS-1990, menetapkan ungkapan ciri khas Muaro Sijunjung Kota ‘Pertemuan’ yang diartikan dalam akronim ‘Per’ permai, ‘Te’ tertib, ‘Mu’ musyawarah, ‘A’ aman dan ‘N’ nostalgia. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 38/2003, sesuai tuntutan zaman dan masyarakat, di penghujung tahun 2003, Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung dimekarkan dengan pembentukan Kabupaten Dharmasraya yang di dalamnya terhimpun Kecamatan Pulau Punjung, Situng, Koto Baru dan Kecamatan Sungai Rumbai. Sehingga dari 12 kecamatan yang dimiliki Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung sebelum pemekaran, kini tinggal delapan, yaitu Kecamatan Kupitan, Koto VII, Sumpur Kudus, Sijunjung, IV Nagari, Lubuak Tarok, Tanjung Gadang dan Kecamatan Kamang Baru.Dalam jumlah kecamatan yang semakin sedikit, luas wilayah yang semakin kecil dan jumlah penduduk yang berkurang, peringatan hari jadi ke-59 tahun 2008, adalah peringatan yang sangat bersejarah bagi masyarakat daerah ini, karena pada rapat istimewa DPRD yang merupakan puncak peringatan, Menteri Dalam Negeri RI, Mardianto meresmikan perubahan nama Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung menjadi Kabupaten Sijunjung, sehingga sampai peringatan hari jadi ke-63, 18 Februari 2012, kabupaten ini sudah empat tahun bernama Sijunjung. Bupati yang telah memimpin Sawahlunto/Sijunjung sejak lahir hingga sekarang, adalah Sulaiman Tantua Bagindo Ratu (Februari-Mei 1949), Ahmad Jarjis Bebas Thani (Mei 1949-Maret 1950), Aminuddin Sutan Syarif (1950-1952), Basrah Lubis (1952-1954), Bagindo Darwis (1994-1958), Kapten Mansur Sami (1954-1958), A. Rivai (1959), R. Sadi Purwopronoto (1959), R. Prayitno (1959), Daranin Sutan Rajo Adin (1960), Mawardi Sutan Mangkuto (1961-1962), Mayor Sudarsin (1962-1964), Kol. Inf. Djamaris Yoenoes (1966-1980), Kol. Inf. Noer Bahri Pamuncak (1980-1990), Kol. Inf. Zalnofri (1990-1995), Kol. Inf. Syahrul Anwar (1995-2000), Kol. Mar. (Purn) Darius Apan (2000-2010) dan Yuswir Arifin (2010-2015 dan 2016-2021), dan Benny Dwifa Yuswir (2021-sekarang)
Secara topografi, kabupaten Sijunjung merupakan rangkaian Bukit Barisan yang memanjang dari arah barat laut ke tenggara, sehingga kabupaten ini memiliki ketinggian yang sangat bervariasi, yaitu antara 120 meter sampai 930 meter di atas permukaan laut. Kecamatan di kabupaten ini umumnya memiliki topografi yang curam dengan kemiringan antara 15–40%, yaitu kecamatan Tanjung Gadang, kecamatan Sijunjung, kecamatan Sumpur Kudus, dan kecamatan Lubuk Tarok. Seperti daerah lainnya di Sumatra Barat, kabupaten ini mempunyai iklim tropis dengan kisaran suhu minimun 21 °C dan maksimum 37 °C. Sedangkan tingkat curah hujan kabupaten Sijunjung mencapai rata-rata 13,61 mm per hari.
• Sebelah Utara: Kabupaten Tanah Datar • Sebelah Selatan: Kabupaten Dharmasraya • Sebelah Barat: Kabupaten Solok dan Kota Sawahlunto • Sebelah Timur: Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau