Padang, Haluan
Instruksi Gubernur Sumbar yang jadi landasan pengalihan proyek dari kewenangan pusat ke daerah dengan nilai ratusan miliar dianggap janggal kalangan aktivis. Apa motif gubernur mengalihkan kewenangan dan membebankan biaya ke Anggara Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Sumbar yang pas-pasan?
Dalam kebijakan kepala daerah biasanya ogah-ogahan menerima limpahan proyek pusat. Alasannya sederhana, anggaran yang semestinya bisa digunakan untuk keperluan lain, malah tersedot utuk proyek yang bukan menjadi kewenangan daerah tersebut. Sangat jarang ada kepala daerah yang malah mau membebankan proyek pusat ke APBD-nya. Apalagi resiko pekerjaan juga besar, termasuk terseret persoalan hukum.
Aktivis Koalisasi Masyarakat Sipil Sumatera barat (KMS SB), Dr Wendra Yunaldi SH MH menyebutkan, motif pengalihan itu menjadi pertanyaan besar di kalangan aktivis dan masyarakat Sumbar. Kenapa proyek yang harusnya menjadi tanggung jawab pusat dialihkan menjadi tanggung jawab daerah, apalagi tanpa melewati mekanisme perizinan di Kementerian Keuangan. “Ini jadi pertanyaan besar dan mesti dijawab dengan jelas karena menjadi hulu dari perbuatan korup puluhan miliar. Masyarakat mesti diberitahu alasan dipindahkan menjadi proyek APBD. Sangat disayangkan kalau pemerintah mengalihkan kewenangan tersebut karena itu akan merugikan Sumbar sendiri secara keuangan,” kata Wendra Yunaldi, Selasa (17/4).
Biasanya, kata Wendra, suatu kegiatan yang merupakan kewenangan pusat, daerah tidak mau melaksanakan dengan alasan kalau itu adalah proyek yang mestinya dibiayai pusat. “Namun ini kok berbeda. Apa latarnya? Kecuali ada delegasi oleh pemerintah pusat, atau biasanya yang dibebankan ke daerah itu hanya biaya pendampingan, itupun harus ada kontrak sebelumnya. Tidak dialihkan begitu saja. Lebih anehnya lagi, kenapa DPRD setuju saja dengan pengalihan ini,” ucapnya.
Kalaupun dialihkan, Wendra menegaskan, mestinya ada kontrak. Contohnya, pembangunan fisik dilakukan pusat dan pembeebasan dilakukan oleh daerah. “Sebagai contoh proyek normalisasi Batang Agam di Payakumbuh. Itu proyek nasional. Namun hanya iuntuk pembangunan saja, sedangkan pembebasan lahan itu tanggung jawab pemerintah daerah. Pembagian kerja itutertuang dalam kontrak. Dalam kasus ini, apakah ada kontraknya?” kata Wendra.
Ia berpendapat, kalau dalam kasus yang menjerat Yusafni ini menghina nalar hukum. Karena pelakunya hanya berdiri tunggal. “Kalau Bahasa kasarnya, jika hanya Yusafni saja yang kena, ini penghinaan pada nalar hukum. Kasus sebesar ini, tersangkanya Cuma satu, dan hanya pejabat biasa. Dimana nalar hukumnya ? Secara alur ,tidak mugkin pelaku korupsi itu tunggal. Mulai dari proses perencanaannya, penganggarannya, hingga pengalihan rekening yang digunakan dalam pelaksanaan proyek ini sangat sensitive. Jadi sangat tidak mungkin dilakukan sendiri tanpa ada keterlibatan yang lain,” pungkas Wendra.
Wendra yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum dan Korupsi (Luhak) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (FH UMSB) juga menyentil peran Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang terlihat pasif saja selama persidangan. Informasi yang dia dapatkan, JPU agak irit bicara, terutama kepada saksi. Sewaktu kesaksian Suprapto kemarin, nyaris tidak ada pertanyaan yang ‘menggigit’ dari jaksa seputar kebijakan. “Padahal beberapa nama disebutkan Suprapto dengan jelas. Kalau saja jaksa responsive, bisa saja minta izin ke majelis hakim untuk memanggil nama-nama yang disebut Karena berhubungan dengan perkara yang sedang disidangkan,” sebut Wendra.
Dituturkan Wendra, para aktivis Sumbar kini menyorot kasus ini dengan sangat seksama. Beberapa kali diskusi dilakukan, bedah kasus juga pernah dilaksanakan oleh para aktivis. Kasus ini memang dalam control penuh para pahlawan-pahlawan anti korupsi tersebut. Jika ada yang melempem di tengah jalan, para aktivis tidak akan tinggal diam. “Kasus ini sudah sangat riuh. Koalisasi Masyarakat Sipil terus melakukan monitoring dan berhubungan dengan banyak pihak agar kasus ini diungkap secara terang benderang. Salah satunya yang jadi pertanyaan soal motif kebijakan pengalihan itu,” sebut Wendra.
Terkait kebijakan pemindahan penganggaran proyek yang seharusnya didanai APBN yang kemudian dialihkan ke APBD oleh gubernur, DPRD Sumbar menganggapnya hal biasa. Menurut ketua komisi IV DPRD Sumbar, Saidal hal itu tak jadi persoalan sepanjang ada aturan yang dipakai untuk menjalankannya. “Sepanjang aturan gubernur yang mana isinya tentang penjabaran ganti rugi tanah tersebut, taka pa-apa. Tujuannya bisa jadi mempercepat pembangunan proyek tersebut,” ucap Saidal.
Anggota DPRD Sumbar dari Fraksi PKS, Mockhlasin meminta Yusafni untuk tidak membawa-bawa nama pihak lain. Sebab, imbuh dia, melihat pada tindakan Yusafni yang memalsukan berbagai surat menyurat secara sendirian bisa dikatakan yang bersangkutan adalah actor tunggal. “Yang bersangkutan supaya objektif, artinya dia yang bersalah dia yang bertanggung jawab tidak perlu membawa nama-nama lain. Faktanya dia memalsukan semua sendirian, dia palsukan tandatangan, dia palsukan penerima dan yang lain,” pungkas Mochlasin.
Sementara itu, Ketua Fraksi PDIP, PKB, dan PBB DPRD Sumbar, Albert Hendra Lukman menyebut, melihat cukup lamanya penyelewengan, dimana berlangsung dari tahun 2012 sampai 2016, ia mengakui DPRD kecolongan dan lemah dari segi pengawasan terkait masalah ini “Karena adanya kelemahan dalam pengawasan, dalam rangka menyikapi kasus SPj fiktif ini beberapa waktu lalu DPRD telah membentuk panitia khusus (Pansus) Tata Kelola Keuangan Daerah. Saat ini pansus masih berjalan, jika pembahasan telah tuntas aka nada rekomendasi-erekomendasi yang kita sampaikan pada pemerintah daerah untuk mencegah hal serupa terjadi di masa mendayang,” pungkas Albert yang sekarang duduk di Komisi I DPRD Sumbar tersebut.
Gubernur Sumbar Irwan Prayitno dan Kabiro Humas Pemprov Sumbar belum memberikan jawaban terkait persoalan ini. Pesan Whatsapp dan panggilan telepon dari wartawan Haluan tidak direspon keduanya. Namun, Kadis Pemberdayaan Masyarakat dan Perdesaan Syafrizal Ucok , yang ditunjuk Gubernur Sumbar Irwan Prayitno sebagai Ketua Tim Percepatan Pengadaan Lahan untuk proyek nasional dengan dana dari APBD, bisa dihubungi meski enggan berkomentar panjang.
“Nanti di sidang saya hari Jumat saya jelaskan. Sekarang tidak mungkin saya membela diri (atas pernyataan Suprapto saat bersakasi). Permintaan sebagai saksi itu, sebagai warga negara yang taat hukum, saya siap hadir (di pemeriksaan sebagai saksi). Sekarang bagaimana saya mau mengomentarinya. Dia sudah bilang ini itu, sekarang saya komentari tidak enak. Nanti saja saya jelaskan di persidangan,” kata Syafrizal Ucok kepada Haluan, Selasa(17/4).
Selain Syafrizal Ucok, Bob Hasan selaku Penasihat Hukum (PH) tersangka Yusafni, mengaku telah mengirim surat resmi ke beberapa pejabat lain di Pemprov Sumbar, termasuk kepada Gubrenur Sumbar Irwan Prayitno, agar bisa hadir di persidangan Jumat nanti sebagai saksi meringankan bagi Yusafni. Namun, usaha konfirmasi kepada pihak bersangkutan lain yang dilakukan Haluan tidak mendapatkan respon sampai berita ini dituliskan.
Di antara usaha konfirmasi atas permintaan hadir sebagai saksi, dan atas beberapa pernyataan Suprapto di pemeriksaan sebagai saksi, telah disampaikan kepada Gubernur Sumbar dan Kabiro Hukum Setdaprov Sumbar Enfita Djinis. Namun, keduanya belum merespon usaha konfirmasi yang dilakukan Haluan.
Dalam sidang kasus korupsi Surat Pertanggungjawaban (SPj) yang menjerat Yusafni sebagai tersangka, Senin (16/4), mantan Kepala Dinas Prasjaltarkim (sekarang Dinas PU/PR) Sumbar Suprapto menyebut, pengalihan itu dilakukan secara “sembunyi”, tanpa sepengetahuan Kementerian Keuangan. Selain menyebut aturan yang dilanggar dalam pengadaan lahan tersebut.
Suprapto menjelaskan bahwa seharusnya pengadaan lahan untuk proyek/jalan-jalan nasional di Sumbar, menjadi tanggungjawab Balai Jalan, dengan pembiayaan dariAPBN dari pusat, tapi dialihkan ke APBD. “Namun, saya tidak tahu apa yang menjadi dasar pengalihan penganggaran itu. Kewenangan ada pada Gubernur Sumbar, saat itu Irwan Prayitno dan TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) yang salah satu anggotanya Sekda Ali Asmar,” kata Suprapto.
Suprapto mengaku beberapa kali menyampaikan kepada gubernur, seharusnya proyek pengadaan ini menjadi tanggungjawab penganggaran APBN, karena menyangkut proyek pembangunan nasional. Beberapa pertimbangan Suprapto yang ia sampaikan kepada gubernur pada saat itu adalah, mengingat Sumbar bukan provinsi yang cukup kaya untuk membiayai proyek nasional dengan APBD. Lagi pula, Menteri keuangan tidak pernah memberikan izin untuk melakukan tersebut melalui dinasnya. Namun semuanya mental. Pertimbangan Suprapto sama sekali tidak didengar. “Namun, tahu-tahu pekerjaan itu tetap dilaksanakan, dengan masuknya anggaran tersebut ke dalam Daftar Isian Penggunaan Anggaran (DIPA) sebagai anggaran perubahan 2012,” paparnya.
Tanpa meminta pertimbangan Suprapto sebagai kepala dinas, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar di bawah koordinasi gubernur juga membentuk tim percepatan pengadaan tanah untuk lima poryek nasional tersebut, beberapa di antaranya adalah pengadaan lahan Jalan Bypass Padang, pengadaan lahan Jalan Samudera, dan pengadaan lahan untuk Main Stadium. “Dasar pembentukan tim itu saya tidak tahu. Setahu saya tidak ada aturan membuat tim itu, karena potensial terjadi duplikasi kewenangan disana.
Tapi provinsi tetap mengkoordinir. Dan faktanya, tim ini sangat dominan sekali dalam menentukan mana yang dibayar dan mana yang tidak. Padahal sesuai aturan, yang berperan strategis dalam pengadaan ini adalah tim Sembilan kabupaten/kota,” kata Suprapto lagi.
Suprapto menjelaskan, gubernur mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk Syafrizal Ucok (saat itu Kabiro Pemerintahan Setdaprov Sumbar, sekarang Kadis Pemberdayaan Masyarakat dan Desa), sebagai ketua tim percepatan pengadaan tanah bentukan provinsi. Pihak inilah yang kemudian intens berkomunikasi dengan terdakwa Yusafni, yang notabene adalah bawahan Suprapto di Dinas Prasjaltarkim, tetapi dalam proyek ini bertindak selaku Petugas Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dan Pejabat Pembuat Komitmen PPK, selama tiga bulan)