Nasib Balairung Ditentukan Setelah Pemeriksaan BPK

PADANG-SINGGALANG

Tim panitia khusus (pansus) DPRD Sumbar yang bertugas menelisik BUMD PT. Balairung Citra Jaya Sumbar telah selesai bekerja. Senada dengan LHP BPK, pansus DPRD menilai banyak kesalahan dalam pengelolaan Balairung sejak lama.

Keadaan hotel itu semakin memburuk, hutang menumpuk hingga RP 34 miliar dalam 4 tahun terakhir. Sementara keuntungan justru tidak ada. Manajemen bahkan tidak bisa lagi memenuhi biaya operasional jangka pendek, termasuk tagihan listik.

“Dengan keadaan seperti itu sangat diragukan hotel ini masih akan bertahan. Untuk itu perlu segera Pemprov dan DPRD harus segera merumuskan kebijakan untuk masa depan Balairung,” ujar Ketua tim pansus M. Nurnas, saat membacakan rekomendasi pansus pasa rapat paripurna DPRD, Jumat malam (26/2).

Nurnas mengatakan uang Sumbar yang tertanam di hotel tersebut dalam bentuk penyertaan modal jumlahnya mencapai RP130,7 miliar.

Sementara selama hotel itu ada, deviden yang diberikan ke kas daerah sangat tidak memadai. Deviden hanya diterima Sumbar pada tahun 2014, 2015 dan 2016. Sementara dari 2017 hingga 2020 Balairung tidak lagi memberikan deviden karena telah merugi. Untuk itu DPRD menilai perlu dipilihkan segera ‘jalan keluar’ untuk Balairung. Ada empat opsi yang direkomendasikan DPRD.

“namun sebelum opsi dipilih dengan duduk bersama antara Pemprov dan DPRD kita minta BPK kembali melakukan pemeriksaan secara mendalam pada Balairung. Yakni terkait data yang lebih akurat tentang aspek keuangan/likuiditas, aset, hutang dan piutang termasuk SDM. Hasil pemeriksaan BPK yang lebih mendalam ini akan menjadi dasar DPRD dan Pemprov merumuskan kebijakan untuk Balairung selanjutnya,” uajar Nurnas.

Nurnas memaparkan, empat opsi yang diberikan pansus dan disetujui DPRD secara kelembagaan, yakni, opsi pertama yaitu tetap dilakukannya operasional oleh manajemen Balairung yang ada pada saat ini atau mengganti manajemen. Opsi kedua, menyerahkan pengelolaan kepada pihak ketiga. Opsi ketiga, dikelola sendiri oleh pemerintah daerah. Keempat, menjualnya dan hasil penjualan dikembalikan ke kas daerah atau digunakan kembali untuk membentuk usaha lain.

“Opsi ini kita mita dibahas setelah BPK melakukan pemeriksaan secara mendalam sekali lagi pada Balairung,” ujarnya.

Setelah itu, pansus DPRD juga meminta Pemprov untuk segera menyelesaikan permasalah yang disebabkan oleh kesalahan masa lalu di Balairung. Sehingga permasalahan tidak menjadi berlarut-larut.

. Lebih penting pula Pemprov sebagai pemegang saham pengendali di Balairung wajib menindaklanjuti semua rekomendasi yang termuat dalam LHP BPK paling lama enam puluh hari setelah LHP diterima.

11 temuan LHP BPK

Berdasarkan LHP BPK yang diterima DPRD ada 11 temuan pada Balairung tahun buku 2018-2020. Dari 11 itu ada empat yang mendasar.

Pertama, PT Balairung menggunakan dana pihak ketiga lain untuk operasional perusahaan berupa penggunaan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang seharusnya dibayarkan ke Pemprov DKI Jakarta sebesar RP742 juta. Selain juga memakai dana sevice changer untuk karyawan sebesar RP612 juta. Penggunakan dana pihak ketiga itu untuk operasional perusahaan dan merupakan kewajiban jangka pendek yang seharusnya dipenuhi Balairung.

“Ini menunjukkan bahwa kondisi keuangan Balairung sudah sangat tidak sehat. Bahkan Balairung juga tidak mampu membayar tagihan listrik,” ujarnya.

Kedua, ada program promo poin yang dilaksanakan dengan tidak tertib dan berpotensi melanggar ketentuan karena diberikan pada ASN dan pejabat daerah.

Ketiga, penetapan tunjangan direksi dan komisaris Balairung belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan good corporate governemen (GCG). Penetapan gaji komisaris tidak ditetapkan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS). Selain ada tunjangan yang diterima oleh direksi diluar penetapan yang telah ditentukan oleh komisaris.

Pemberian gaji tunjangan hari raya (THR) untuk direksi dan komisaris pun tidak memiliki dasar.

“Besarnya gaji dan tunjangan tersebut tidak mempertimbangkan kondisi perusahaan yang sedang mengalami kerugian.

Keempat, pelaksanaan kegiatan operasional Balairung belum efektif dan kelangsungan usaha diragukan. Sementara sesuai dengan peraturan daerah (perda) Nomor 6 Tahun 2009 tujuan pendiriannya adalah untuk meningkatkan pendapatan daerah. Hal ini terlihat dari kesulitan hotel ini dalam memperoleh lama.

Sejak beroperasi pada Tahun 2013, Balairung hanya mendapatkan laba selama tiga tahun, yakni pada Tahun 2014 sebesar Rp10 miliar, 2015 Rp9,3 miliar, dan 2016 Rp9,6 miliar. Sedangkan pada 2013 rugi Rp6,9 miliar, 2017 rugi RP5,9, 2018 rugi Rp5 miliar, 2019 rugi Rp6,8 miliar. “Apabila diakumulatifkan total kerugian dari 2013 sampai 2019 mencapai 34 miliar,” ujarnya.

Selain empat temuan mendasar, dari 11 diantaranya pengelolaan tagihan kepada pelanggan tidak sesuai ketentuan diaman terdapat piutang kepada pihak ketiga pada 2018 hingga 2019 senilai RP166 juta. Kemudian ada pelaksanaan perjanjian sewa menyewa ruang perkantoran milik Balairung yang belum sesuai harga pasar yang diberikan ke Banknagari, Kantor Penghubung dan Gebu Minang DKI. Perhitungan luas ruang kantor yang disewakan tidak cermat dan mengakibatkan kerugian sebesar Rp2,1 miliar. (401)

Selengkapnya unduh disini