Petaka Kebijakan Gubernur

Padang, Haluan

Kebijakan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mengalihkan pendanaan sejumlah proyek nasional dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) menjadi tanggungan Sumbar menjadi pembuka kran korupsi senilai Rp62,5 miliar. Pengalihan tersebut menyedot anggaran yang tak sedikit, allu menjadi celah korupsi puluhan miliar.

Kebijakan pengalihan yang diambil gubernur itu disampaikan mantan Kepala Dinas Prasjaltarkim (sekarang Dinas PUPR) Sumbar Suprapto,Senin (16/4) di depan majelis hakim pengadilan tipikor Padang. Suprapto yang kini berstatus terpidana korupsi malah menyebut, penglihatan itu dilakukan secara “sembunyi”, tanpa sepengetahuan Kementerian Keuangan.

Kedatangan Suprapto ke Pengadilan Tipikor Padang untuk bersaksi dalam kasus korupsi Surat Pertanggungjawaban (SPj) fiktif di lingkungan Pemprov Sumbar dengan terdakwa Yusafni. Selain menyebut aturan yang dilanggar dalam pengadaan lahan beberapa proyek di Sumbar, ia juga menyebutkan beberapa nama dan jabatan yang berkomunikasi dengan Yusafni terkait pengadaan lahan tersebut.

Mengawali keterangannya untuk kasus korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang merugikan Negara hingga Rp62,5 miliar tersebut, Suprapto menjelaskan bahwa seharusnya pengadaan lahan untuk proyek /jalan-jalan nasional di Sumbar, menjadi tanggung jawab Balai Jalan, dengan pembiayaan dari APBN dari pusat, tapi dialihkan ke APBD. “Namun saya tidak tahu apa yang menjadi dasar pengalihan penganggaran itu. Kewenangan ada pada Gubernur Sumbar, saat itu Irwan Prayitno dan TAPD (Tim Anggaran Pemerintahan Daerah) yang salah satu anggotanya sekda Ali Asmar,” kata Suprapto.

Suprapto mengaku beberapa kali menyampaikan kepada gubernur, seharusnya proyek pengadaan ini menjadi tanggung jawab penganggaran APBN, karena menyangkut proyek pembangunan nasional. Beberapa pertimbangan Suprapto yang ia sampaikan kepada gubernur saat itu adalah, mengingat Sumbar bukan provinsi yang cukup kaya untuk membiayai proyek nasional dengan APBD. Lagi pula, menteri keuangan tidak pernah memberikan izin  untuk melakukan tersebut melalui dinasnya. Namun semuanya mental. Pertimbangan Suprapto sama sekali tidak didengar.  “Namun, tahu-tahu pekerjaan itu tetap dilaksanakan, dengan masuknya anggaran tersebut ke dalam Daftar Isian Penggunaan Angaran (DIPA) sebagai anggaran perubahan 2012,” paparnya.

Tanpa meminta pertimbangan Suprapto sebagai kepala dinas, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar di bawah koordinasi gubernur juga membentuk tim percepatan pengadaan tanah  untuk lima proyek nasional tersebut, beberapa diantaranya adalah pengadaan lahan jalan By pass Padang, pengadaan jalan Samudera, dan pengadaan lahan untuk Main Stadium, “Dasar pembentukan tim itu saya tidak tahu. Setahu saya tidak ada aturan membuat tim itu, karena potensial terjadi duplikasi kewenangan di sana. Tapi provinsi tetap mengkoordinir. Dan faktanya, tim ini sangat dominan sekali dalam menentukan mana yng dibayar dan mana yang tidak. Padahal sesuai aturan, yang berperan strategis dalam pengadaan ini adalah tim Sembilan Kabupaten/kota,” kata Suprapto lagi.

Suprapto  menjelaskan, gubernur mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk Syafrizal Ucok (saat itu Kabiro Pemerintahan Setdaprov Sumbar, sekarang Kadis Pemberdayaan Masyarakat dan Desa), sebagai ketua tim percepatan pengadaan tanah bentukan provinsi. Pihak inilah yang kemudian intens berkomunikasi dengan terdakwa Yusafni, yang notabene adalah bawahan Suprapto di Dinas Prasjaltarkim, tetapi dalam Proyek ini brtindak selaku Petugas Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK, selama tiga bulan).

“Saya juga tanyakan mengapa terdakwa bisa masuk dalam tim ini. Saya tidak bisa mendapat jawaban soal itu. Yang saya tahu itu tetap berjalan. Evaluasinya ada di Rakor di Dinas PU. Saya tanya progres pengadaan lahan, dijawab lancar. Setiap tahun, laporan itu dinyatakan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Saya perintahkan, setelah 14 hari ganti rugi, harus dikosongkan lahan di Jalan Samudra itu, “ucap Suprapto.

Terkait pembuatan rekening penampungan pada Bank Mandiri pada 2012, Suprapto mengaku memberi izin untuk membuka rekening tersebut, karena kondisi mendesak dan telah dikonsultasikan dengan Zul Evi Astar selaku kepala DPKD Sumbar saat itu. Karena, seharusnya rekening dinas harus Giro di Bank Nagari. Meskipun tetap bisa pada bank lain asalkan bank pemerintah.

“Waktu itu Yusafni dan beberapa panitia menghadap saya, minta izin buka rekening di Bank Mandiri, karena kalau masih tetap di rekening Dinas, sisanya akan ditarik langsung oleh pusat karena sudah habis waktunya. Saya izinkan, dengan alasan mendesak dan program sedang berjalan, hanyauntuk tahun-tahun selanjutnya,” ujarnya.

Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebutkan bahwa rekening tersebut tetap digunakan hingga 2016, masih untuk proses pengadaan lahan, menanggapi hal itu, Suprapto mengaku kaget dan tidak mengeahui sama sekali. “Saya tidak tahu ada temuan kwitansi fiktif oleh BPK. Saya sudah ingatkan sebelumnya, jangan sampai salah bayar,” katanya lagi.

Dalam persidangan tersebut, Suprapto juga menyebutkan ia tidak pernah menerima pemberian apapun dari Yusafni sekaitan dengan proses pengadaan lahan tersebut. “Saya bersumpah demi Allah, saya tidak pernah menerima dalam bentuk apa pun dari pengadaan lahan. Kalau saya ada menerima, mulai hari ini juga detik ini juga saya jadi orang kafir,” ucap Suprapto.

Jaksa kemudian mengejar penguasaan Suprapto atas satu unit mobil merek Hyundai Tucson. Namun, Suprapto mengaku mobil itu merupakan milik Negara. Yusafni menerangkan mobil tersebut dibeli menggunakan dana dari APBN  dari paket pemeliharaan jalan. “Yusafni disamping PPTK juga Kasatker pemeliharaan jalan nasional. Saat itu ada paket, saya sedang berunding pengadaan mobil dengan kabid. Datang Yusafni bilang bisa beli pakai APBN. Saya terima mobil itu dan memang menggunakan plat hitam, karena pengadaan dilakukan pihak ketiga, jika sudah seelsai maka mobil tersebut akan plat merah,” katanya.

Menanggapi itu, Ketua Majelis Hakim Iwan Munir mencecar Suprapto dengan menanyakan pengetahuannya atas nama yang tertera di STNK mobil tersebut. Suprapto sendiri tidak mengetahui atas nama yang tertera di STNK mobil tersebut. Suprapto sendiri tidak mengetahui atas nama siapa mobil itu dibeli. Namun, ia mengakui bukan atas nama pemerintah provinsi. “Kalau itu bukan milik Negara, itu boleh disita. Sekarang itu disita, tandanya bukan milik negara,” kata Irwan Munir.

Selanjutnya, Suprapto juga mengakui Yusafni pernah menemuinya dan mengatakan bahwa Yusafni diminta oleh seseorang untuk membantu biaya Pemilihan Gubernur 2015. Namun, Yusafni tidak menjelaskan secara langsung siapa yang datang dan calon gubernur mana yang meminta dirinya untuk membantu. (Saat itu Pilgub mempertemukan Irwan Prayitno – Nasrul Abit dan Almarhum Muslim Kasim – Fauzi Bahar). “Waktu itu, saya sampaikan kepada Yusafni, kita ini PNS jangan terlibat politik praktis. Saya sangat emosi, sehingga tidak menanyakan siapa yang memintanya seperti itu. Saya tidak tahu tindak lanjut saat itu, yang jelas saya tidak curiga karena Yusafni ini juga dari keluarga pengusaha. Tapi, satu kali ia juga pernah bilang sudah kerepotan melayani permintaan itu,” imbuh Suprapto.

Di lain kesempatan, sambung Suprapto. Yusafni juga mengaku pernah diiming-imingi jabatan kepala dinas oleh mantan Wagub Sumbar, almarhum Muslim Kasim, yang saat itu juga masuk dalam pertarungan Pilgub Sumbar 2015. Namun, Yusafni tidak menjelaskan kepada Suprapto, apakah ia ikut membantu Muslim Kasim dalam proses pencalonan sebagai gubernur saat itu.

Setelah mendengarkan keterangan dari saksi Suprapto dan tidak ada pertanyaan dari JPU, dan PH, Majelis Hakim menunda persidangan hingga jumat (20/4) dengan agenda mendengarkan  keterangan ahli dan saksi meringankan yang akan dihadirkan PH terdakwa Yusafni. “Kami akan mengundang lima saksi meringankan, yaitu Gubernur Sumbar, Mantan Wali Kota Padang, Bupati Padang Pariaman, Syafrizal Ucok, dan Zul Evi Astar dalam persidangan berikutnya,” kata penasehat Hukum (PH) terdakwa, Bob Hasan kepada hakim ketua Irwan Munir.

Bob Hasan selaku kuasa hukum Yusafni, Senin siang telah mengirimkan surat permintaan agar bersedia jadi saksi ahli dan meringankan unruk kliennya, Yusafni Ajo. “Siang tadi (Senin-red) surat sudah dikirimkan ke pihak-pihak yang diminta untuk menjadi saksi ahli dan meringankan, termasuk ke Gubernur Sumbar Irwan Prayitno,” terang Bob Hasan.

Dituturkan Bob Hasan, gubernur diminta untuk memberikan kesaksian yang meringankan untuk Yusafni. Sebagai kepala daerah, gubernur diduga Bob Hasan tahun seluk beluk perkara yang menjerat kliennya. “Dalam kerangka duga-dugaan, gubernur tahu duduk persoalan ini dari awal. Makannya diminta datang dan hadir sebagai saksi meringankan di Pengadilan Tipikor Padang bersama salah seorang kepala dinas di Pemprov Sumbar yang ada kaitannya dengan keuangan kasus ini. Kepala Dinas tersebut sekarang masih aktif dan berkaitan dengan keuangan Yusafni,” terang Bob Hasan kepada Haluan, Minggu (15/4).

Sebagai kepala daerah kata Bob Hasan, gubernur pasti melakukan proses evaluasi terkait dengan proyek yang dikerjakan oleh kliennya tersebut. Pekerjaan tersebut selesai atau tidak dilakukan. Hal itu dilakukan dalam upaya mengumpulkan semua data, informasi dan fakta persidangan. Tujuannya memastikan jumlah kerugian negara dan kemana saja duit sebanyak itu pergi.  “Saya bukan tidak percaya dengan BPK yang menyatakan kerugian negara Rp62,5 miliar. Semuanya tentu dikaji, termasuk untuk apa uangnya dipergunakan. Jangan sampai hanya Yusafni menjadi penanggung jawab pidana sepenuhnya,” ucap Bob.

Gubernur, kata Bob Hasan juga akan ditanyai seputar penunjukan lokasi proyek. Keterangan Sekdaprov Sumbar, Ali Asmar pada sidang sebelumnya, menurut Bob Hasan tidak jelas, sehingga gubernur diminta datang untuk menjelaskannya. “Gubernur akan kami tanyakan juga terkait penunjukan lokasi proyek. Siapa yang menunjuk, lalu siapa yang menetapkan. Ini penting,” tegasnya.

Sebelumnya dalam dakwaan JPU yang dikatakan, perbuatan korupsi yang dilakukan Yusafni disebutkan dilakukan secara bersama. Nama Suprapto paling sering disebut oleh JPU. Dia dituding ikut terlibat secara bersama-sama melakukan korupsi dengan Yusafni. Suprapto kini sedang menjalani masa hukuman karena ditangkap KPK dalam kasus suap terhadap anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat, I Putu Sudiartana sebesar Rp500 juta. Dia sudah divonis 34 bulan oleh majelis hakim.

Perbuatan itu dilakukan sejak tahun 2012 sampai 2016, dalam kegiatan pengadaan tanah untuk sejumlah proyek di Sumbar. Total kerugian negara sebesar Rp62,5 miliar rupiah. Yusafni disebutkan menyalahgunakan kewenangan,  serta membuat SPj fiktif lebih dari satu. Dia juga dianggap melakukan pengadaan tanah dengan cara memalsukan daftar nama pemilik tanah yang nantinya akan menerima ganti rugi, memotong anggaran, dan melakukan penggelembungan.

Yusafni berbuat dalam dua jabatan berbeda. Tahun 2012, selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Selanjutnya pada 2013-2016 selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) pada Dinas Pekerjaan Umum dam Penata Ruang (PUPR). Sejumlah proyek yang dijadikan ladang korupsi adalah proyek ganti rugi lahan di Jalan Samudera Kota Padang. Ganti rugi lahan pembangunan Flyover Duku, Padang Pariaman, dan Pembangunan Stadium yang juga di Padang Pariaman. Uang hasil korupsi itu disebutkan JPU ditransfer ke sejumlah pihak dan dibelanjakan Yusafni.

Selengkapnya…