Pungutan Janggal Rp11,4 Miliar di Pemprov Sumbar, Bakeuda Akui Sudah Hentikan

BPK memberikan rekomendasi agar ke depan tidak terjadi lagi pemungutan yang melanggar asas kepatutan. Sedangkan upah pungut Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) dan Pajak Rokok sebesar Rp11,4 miliar pada Tahun Anggaran (TA) 2016 yang telah ditarik Pemprov Sumbar , dinyatakan sebagai pemborosan keuangan daerah.

PADANG-HALUAN

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Wilayah Sumbar menilai Pemprov Sumbar tidak memenuhi asas kepatutan dalam penarikan upah pungut Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) dan Pajak Rokok sebesar Rp11,4 miliar pada Tahun Anggaran (TA) 2016.

Meski penarikan upah telah dihentikan sesuai rekomendasi BPK, upah yang telah ditarik tersebut tak bisa dikembalikan karena belum ada regulasi yang mengatur.

“PBB-KB dan Pajak Rokok memang ditetapkan sebagai pajak daerah. Namun, Pemprov tidak ada hak untuk menarik upah pungut ini karena memang bukan Pemprov yang melakukan pendataan, validasi, dan pemungutan. PBB-KB yang melaksanakan prosesnya Pertamina atau pihak swasta selaku produsen atau distributor BBM itu. Sementara Pajak Rokok yang memungutnya Dirjen Bea Cukai. Oleh karenanya kami menganggap ada pelanggaran asas kepatutan,” kata Ketua Tim Senior BPK Sumbar, Yunaldi, kepada Haluan, Kamis (8/11).

Pemprov Sumbar, sebutnya, melalui Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD) yang saat ini telah berubah menjadi Badan Keuangan Daerah (Bakeuda) Sumbar, telah memungut insentif atau upah pungut PBB-KB sebesar Rp6.208.833.668 dan Pajak Rokok sebesar Rp5.259.331.078. Temuan tersebut kemudian dinyatakan sebagai pemborosan keuangan daerah.

“Terkait permasalahan ini, kami sudah ajukan ke pemerintah pusat sebagai bahan pendapat dari BPK. Laporannya sudah diterima, tetapi sampai saat ini belum ada penjelasan dari pusat,” kata Yunaldi lagi.

Terkait insentif senilai Rp11,4 miliar yang telah terlanjur dipungut tersebut, Yunaldi memang menyebutkan belum ada aturan jelas yang memuat tata cara pengembaliannya. Temuan dan masalah serupa juga pernah terjadi di beberapa daerah lain.

Yunaldi menambahkan, dalam persoalan ini, BPK hanya dapat memberikan rekomendasi agar ke depan tidak terjadi lagi pemungutan yang melanggar asas kepatutan. Sedangkan untuk insentif yang telah terpungut, dinyatakan sebagai pemborosan keuangan daerah.

“Pernah satu kali Mendagri bilang, bahwa dana itu memang dapat jadi hak daerah, yang berasal dari pajak daerah, tetapi tidak jelas juga bagaimana mekanismenya sehingga kami pun bingung mau melakukan tindakan apa. Di satu sisi, tindakan itu jelas bertentangan dengan undang-undang. Di sisi lain ada pernyataan Mendagri seperti itu. Serba salah jadinya,” ucap Yunaldi lagi.

Sudah Dihentikan

Sementara itu, Kepala DPKD Sumbar, Zaenuddin membenarkan bahwa pihaknya memang menarik upah pungut PBB-KB dan Pajak Rokok pada 2016. Namun, ia menyebutkan bahwa pemungutan tersebut telah sesuai dengan UU Pajak Daerah dan PP Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

“Menurut dua peraturan tersebut, Pemprov melalui DPKD berhak memungut insentif. Akan tetapi, menurut BPK, hal ini tidak sesuai dengan asas kepatutan, sehingga pada tahun-tahun berikutnya kami tidak boleh lagi memungut insentif itu. Sampai sekarang kami memang tidak lagi menerima upah pungut itu, baik dari PBB-KB mau pun Pajak Rokok,” kata Zaenuddin.

Di sisi lain, Anggota Badan Anggaran DPRD Sumbar, Albert Hendra Lukman, sepakat dengan BPK bahwa memang tak semestinya Pemprov Sumbar mendapatkan insentif dari pekerjaan yang tidak pernah dilakukan. Namun, temuan BPK Rp11,4 miliar tetap harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar.

“Logikanya, jika memang tidak dipungut Pemprov Sumbar, maka insentifnya juga tidak boleh diambil. Jadi, jika ada temuan BPK terkait persoalan ini, tindak lanjutnya harus dilakukan Pemprov Sumbar sesuai catatan BPK. Setiap temuan itu kan diiringi catatan. Jika dalam catatan BPK diminta mengembalikan, ya harus dikembalikan. Kalau diminta untuk tidak dijalankan lagi, ya harus dihentikan,” kata Albert.

Pada intinya, lanjut Albert, pemungutan terhadap cukai BBM, rokok, dan lain sebagainya langsung dikerjakan, diambil, dan dihitung oleh pemerintah pusat, yang kemudian membagikan dana bagi hasilnya ke pemerintah daerah.

“Semuanya sudah langsung dilakukan oleh pusat, kenapa harus ada insentif untuk daerah,” ucapnya menutup. (h/mg-dan/len)

Selengkapnya…