Tim Bentukan Gubernur Disebut Dalam Sidang, Korupsi Rp62 Miliar Sistematis

Proses kasus dugaan korupsi dengan modus Surat Pertanggungjawaban (SPj) fiktif terus bergulir di Pengadilan Tipikor Padang. Beberapa proses yang selama ini tertutupi, perlahan terkuak. Termasuk keterlibatan sejumlah pejabat selain Yusafni yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa. Kasus ini dianggap sistematis dan dilakukan secara bersindikat.

PADANG, HARIANHALUAN.COM – Dugaan tersistemnya proses kasus SPj fiktif diungkapkan Bob Hasan, yang merupakan kuasa hukum Yusafni Ajo. Bob meyakini, kliennya (Yusafni-red) memang bersalah dalam kasus yang merugikan negara Rp6,2 miliar lebih itu, namun, walau salah, bukan berarti kliennya main sendiri. Dia menyebut, ada sindikat yang sengaja menciptakan rencana memamah uang negara secara bersama-sama.

“Setelah mempelajari alur kasus yang terjadi, membaca satu per satu berkas yang ada, akhirnya saya menarik kesimpulan kalau kasus ini tidak berdiri sendiri. Yusafni yang merupakan klien saya bukan pemain tunggal. Ada tangan-tangan lain yang turut serta dalam perkara, serta diarahkan untuk berbuat demikian,” terang Bob Hasan usai sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Tipikor Padang, Senin (12/2).

Dirunut Bob Hasan, pada tahun 2012 – 2013, Yusafni merupakan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Selama itu tidak terjadi kesalahan.

“Setelah itu, Suprapto yang waktu itu Kepala Dinas Prasjaltarkim menunjuk Yusafni sebagai PPTK secara berturut-turut. Ada upaya pengarahan yang dilakukan Suprapto kepada klien saya. Dari hal-hal yang terjadi itu, terlihat adanya perbuatan secara bersama-sama oleh Suprapto, Yusafni dan KPA lainnya. Serupa sindikat,” paparnya.

Adanya dugaan korupsi ini tersistematis dikuatkan Bob Hasan lagi dengan adanya permintaan agar Suprapto melakukan pengalihan rekening proyek dari Bank Nagari ke Bank Mandiri. Sesuai aturan, sebenarnya rekening proyek tersebut tidak bisa dialihkan begitu saja, dan mesti tetap di bank nagari. Tapi, atas permintaan orang yang ada di atasnya, Yusafni akhirnya melakukan pengalihan rekening. Lewat rekening itulah sejumlah transfer dan penarikan dilakukannya.

Bob Hasan juga menyinggung peran Tim 9 yang memiliki tanggung jawab dalam pengadaan lahan serta menentukan harga yang akan diusulkan untuk pembayaran.  Tim tersebut berisi sejumlah pejabat teras dan disebutkan Bob sengaja dibentuk dan di-SK-kan Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno.

“Sebagai tim yang dibentuk gubernur, Tim 9 itu tidak ada berhubungan dengan Yusafni, tapi langsung ke atasan. Tim itulah yang melakukan penelitian ke lapangan, sampai akhirnya menentukan harga yang diusulkan untuk dibayarkan,” papar Bob Hasan.

Mustahil Satu Orang

Arief Paderi dari Lembaga Anti-Korupsi Integritas menilai, korupsi SPj fiktif bukan hanya satu kali, tapi sudah berulang-ulang. Itu artinya, persoalan ini tidak dilakukan oleh satu orang saja namun ada sejumlah pihak lainnya.

“Kalau bicara kasus, sebenarnya saya tidak bisa berkomentar karena saat ini masih proses di pengadilan. Namun begitu, bicara soal konteks kasus, mustahil dilakukan oleh satu orang,” ungkap Arief, Senin (12/2).

Menurutnya, banyak pihak sebenarnya yang bisa dikejar dalam kasus ini, misalnya saja mulai dari pihak yang mengesahkan anggaran, tim anggaran, hingga realisasi anggaran, karena bukan hanya bicara soal realisasi anggaran saja namun pembuat anggaran juga bertanggung jawab.

Indra Jaya Teken Pencairan

Sementara, dalam sidang, pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumbar, Indra Jaya menceritakan proses pencairan anggaran, hingga tim mana saja yang bekerja dalam sejumlah proyek pembebasan lahan yang akhirnya berujung pada kasus korupsi senilai Rp62,6 miliar itu. Ditunjuk sebagai saksi, Indra Jaya merupakan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) di Dinas Prasjaltarkim (kini Dinas PUPR-red) tahun 2014 sampai 2015. Puluhan miliar anggaran cair lewat persetujuannya sebagai KPA.

“Dalam dua tahun saya telah melakukan pencairan Rp29,2 miliar tahun 2014, dan Rp17,6 miliar pada tahun 2015. Dana tersebut merupakan ganti rugi pembebasan lahan untuk Jalan Samudra, Fly Over Duku, Jalan Bypass dan Stadion di Padang Pariaman,” paparnya.

Sebagai KPA, menurut Indra Jaya, dia hanya menandatangani Surat Perintah Membayarkan (SPM) yang berisikan nama-nama orang penerima ganti rugi, serta besaran yang akan dibayarkan tanpa melaksanakan pengecekan serta meneliti secara detail SPM tersebut.

“Saya berasumsi, karena kegiatan ini hanya melanjutkan dari tahun sebelumnya. Tidak hanya itu juga tidak mengetahui kalau ada kuitansi ganda atas nama yang sama,” paparnya.

Lebih detail, Indra Jaya menyebut, dalam proses pembebasan lahan di sejumlah proyek, ada tim khusus, dan dinamai Tim 9. Tim inilah yang bergerak ke tengah masyarakat dan bertanggung jawab dalam pembebasan lahan.

“Tim Sembilan yang bekerja. Saya percaya saja kepada tim itu, makanya tidak dilakukan pengecakan ulang terhadap SPM yang diusulkan,” paparnya.

Indra Jaya juga menjelaskan, selama menjabat sebagi KPA, dia juga tidak pernah memperbandingkan daftar penerima ganti rugi pada tahun-tahun sebelumnya, disebabkan ia tidak memiliki arsip laporan serta realisasi pada tahun sebelumnya. Namun, pada tahun 2016 cuma ada laporan yang ditembuskan kepadanya. Pada laporan tersebut dinyatakan realisasi kegiatan pada 2015 telah 100 persen.

Meski mengaku ceroboh, Indra mengakui kalau dirinya memang seharusnya bertanggungjawab untuk meneliti lampiran secara mendetail, dan memastikan penerima ganti rugi tepat. Salah satu contohnya, diakui ada kuitansi atas nama Darning Suwarti yang menerima Rp276 juta, tapi nama tersebut tidak ada dalam daftar penerima ganti rugi.

“Semua uang telah dicairkan dari bendahara pengeluaran sesuai dengan jumlah yang ada di SPM, tapi saya tidak mengetahui apakah uang tersebut sampai pada masyarakat atau tidak. Saat saya tanya pada Yusafni, katanya semua telah diserahkan,” ujarnya.

Indra juga mengatakan Yusafni pernah menemuinya di ruang kerja untuk membahas masalah pembebasan lahan. Sabagai PPTK Yusafni tidak ada menyampaikan terdapat kendala, Indra pun juga telah melihat di Jalan Samudera sudah mulai dilakukan penggusuran atas lahan yang dibebaskan.

“Atas kejadian ini saya menyesal, tidak melakukan penelitian atas berkas-berkas yang penah saya tanda tangani tersebut,” sesalnya.

Selanjunya, saksi Erva Putra yang merupakan Bagian Keuangan menyampaikan sebagai bendahara melakukan pembayaran atas SPM yang berisikan daftar nama penerima ganti rugi. Dalam melakukan verifikasi ia hanya mencocokkan daftar nama di SPM, bukan tentang dokumen pendukungnya.

“Saya hanya melakukan pengecekan secara sepintas saja,” kata Elva.

Tidak hanya itu, saksi Elva Putra menyampaikan, untuk dana kegiatan tersebut seharusnya dari bendahara pengeluaran akan ditransfer ke rekening kegiatan. Rekening tersebut juga harus Bank Nagari, bukan Bank Mandiri.

Sementara, tiga orang saksi dari TAPD Desi Yuldini, Elvi Rusmi dan Febri Efrizal sebagai anggota dari TAPD tidak mengetahui terjadinya masalah ini. Mereka mengaku tahu setelah adanya pemeriksaan oleh BPK pada akhir 2016 tentang adanya SPj fiktif dalam pembebasan lahan tersebut.

Tunda Sidang

Setelah mendengarkan keterangan saksi, majelis hakim yang diketuai Irwan Munir dengan didampingi hakim anggota Emria dan Perry Desmarera menunda sidang hingga pekan depan. “Untuk pekan depan, JPU harus kembali menghadirkan saksi,” papar Irwan sebelum mengetuk palu, tanda sidang usai.

Sebelumnya dalam dakwaan JPU yang dikatakan, perbuatan korupsi yang dilakukan Yusafni disebutkan dilakukan secara bersama. Perbuatan itu dilakukan sejak tahun 2012 sampai 2016, dalam kegiatan pengadaan tanah untuk sejumlah proyek di Sumbar. Total kerugian negara sebesar Rp62,5 miliar rupiah. Yusafnidisebutkan menyalahgunakan kewenangan, serta membuat SPj fiktif lebih dari satu.

Dia juga dianggap melakukan pengadaan tanah dengan cara memalsukan daftar nama pemilik tanah yang nantinya akan menerima ganti rugi, memotong anggaran, dan melakukan penggelembungan. Yusafni berbuat dalam dua jabatan berbeda. Tahun 2012, selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Selanjutnya pada 2013 – 2016 selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR). Sejumlah proyek yang dijadikan ladang korupsi adalah proyek ganti rugi lahan di Jalan Samudera Kota Padang, ganti rugi lahan pembangunan Jalur II Bypas Padang, pembangunan Flyover Duku, Padang Pariaman, dan pembangunan Stadium yang juga di Padang Pariaman.

Uang hasil korupsi itu disebutkan JPU ditransfer ke sejumlah pihak dan dibelanjakan Yusafni. Khusus pemakaian pribadi, Yusafni setidaknya membeli mobil sebanyak 12 unit dalam kurun 2013 – 2016, sejumlah alat berat dan tanah di beberapa tempat.

Tidak hanya untuk barang, dia juga melakukan transfer dengan nilai tak sedikit ke sejumlah perusahaan dan orang. Mulai ke CV Kambang Raya yang merupakan miliknya, lalu ke PT Trakindo, PT Serumpun Indah Perkasa, PT Hexindo Adi Perkasa, CV Aulia dan PT Lybas Area Consrtuction Raya. Beberapa nama juga disebut menerima transferan dari Yusafni, mulai dari Weni Darti, Nasrizal, Elia Harmonis dan Elfi Wahyuni. Namun tidak disebutkan jaksa secara terperinci, untuk apa uang itu disetorkan. (h/mg-hen)

Selengkapnya…