Upah Pungut 11,4 Miliar Tuai Sorotan

Hefrizal Handra menyebutkan, sejatinya apa dilakukan Pemprov Sumbar tersebut tidak melanggar aturan (sepanjang pemprov yang melakukan pemungutan). Pemprov berhak menarik upah pungut dari penerimaan pajak. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku untuk PBB-KB dan Pajak Rokok karena tidak ada upaya pemprov untuk memungut kedua pajak tersebut.

PADANG-HALUAN 

Berbagai komentar menggiringi temuan BPK terkait penarikan upah pungut Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) dan Pajak Rokok sebesar Rp11,4 miliar pada Tahun Anggaran (TA) 2016 oleh Pemprov Sumbar karena dinilai melanggar asas kepatutan. Selain persoalan tidak adanya regulasi yang mengatur pengembalian insenstif tersebut, BPK dinilai perlu melihat niat yang mendasari Pemprov Sumbar melakukan penarikan.

Wakil Ketua Komisi III DPRD Sumbar, Supardi, menyayangkan catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Sumbar terkait penarikan upah pungut tersebut yang hanya dianggap sebagai pemborosan anggaran oleh BPK RI sehingga tidak ada rekomendasi untuk mengembalikannya ke dalam kas negara. Ia menilai, seharusnya BPK juga merekomendasikan pengembalian insentif tersebut.

“Mestinya tak bisa hanya dikatakan sebagai pemborosan, tetapi BPK harus merekomendasikan Pemprov Sumbar untuk mengembalikan uang tersebut ke negara. Sebab sepengetahuan saya, ini tidak terjadi hanya pada tahun anggaran 2016. Tetapi sudah berlangsung sejak 2013. Kalau ditaruh saja Rp11 miliar setahun, maka selama tiga tahun itu jumlahnya besar. Uang sebanyak itu harusnya dapat dipakai untuk pembangunan rakyat,” kata Supardi.

Anggota DPRD dari Fraksi Partai Gerindra itu mengatakan, Pemprov Sumbar semestinya mengembalikan insentif yang menjadi temuan BPK tersebut, karena dalam proses pengambilan upah pungut PBB-KB dan pajak rokok, tak ada jerih payah Pemprov Sumbar dalam mengerjakannya.

Sebelumnya, Anggota Badan Anggaran DPRD Sumbar, Albert Hendra Lukman, sepakat dengan BPK dan Supardi, bahwa memang tak semestinya Pemprov Sumbar mendapatkan insentif dari pekerjaan yang tidak pernah dilakukan. Namun, temuan BPK Rp11,4 miliar tetap harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar.

“Logikanya, jika memang tidak dipungut Pemprov Sumbar, maka insentifnya juga tidak boleh diambil. Jadi, jika ada temuan BPK terkait persoalan ini, tindak lanjutnya harus dilakukan Pemprov Sumbar sesuai catatan BPK. Setiap temuan itu kan diiringi catatan. Jika dalam catatan BPK diminta mengembalikan, ya harus dikembalikan. Kalau diminta untuk tidak dijalankan lagi, ya harus dihentikan,” kata Albert.

Pada intinya, lanjut Albert, pemungutan terhadap cukai BBM, rokok, dan lain sebagainya langsung dikerjakan, diambil, dan dihitung oleh pemerintah pusat, yang kemudian membagikan dana bagi hasilnya ke pemerintah daerah. “Semuanya sudah langsung dilakukan oleh pusat, kenapa harus ada insentif untuk daerah,” ucapnya.

Pengamat: Tindakan Inefesiensi

Sebelumnya, BPK RI Wilayah Sumbar menilai Pemprov Sumbar tidak memenuhi asas kepatutan dalam penarikan upah pungut sebesar Rp11,4 miliar tersebut. Meski penarikan upah telah dihentikan sesuai rekomendasi BPK, upah yang telah ditarik tersebut memang tak bisa dikembalikan karena belum ada regulasi yang mengatur.

Pemprov Sumbar, sebut Ketua Tim Senior BPK Sumbar, Yunaldi, kepada Haluan, melalui Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD) yang saat ini telah berubah menjadi Badan Keuangan Daerah (Bakeuda) Sumbar, telah memungut insentif atau upah pungut PBB-KB sebesar Rp6.208.833.668 dan Pajak Rokok sebesar Rp5.259.331.078. Temuan tersebut kemudian dinyatakan sebagai pemborosan keuangan daerah.

“Terkait permasalahan ini, kami sudah ajukan ke pemerintah pusat sebagai bahan pendapat dari BPK. Laporannya sudah diterima, tetapi sampai saat ini belum ada penjelasan dari pusat,” kata Yunaldi lagi.

Selain memang dinilai tidak memenuhi azas kepatutan, Pengamat Keuangan Daerah dari Universitas Andalas (Unand), Hefrizal Handra, menyebutkan memang sejatinya apa dilakukan Pemprov Sumbar tersebut sejatinya tidaklah melanggar aturan karena memang tidak ada regulasi yang mengatur. Ia menilai Pemprov berhak menarik upah pungut dari penerimaan pajak. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku untuk PBB-KB dan Pajak Rokok karena tidak ada upaya pemprov untuk memungut kedua pajak tersebut.

“Kembali lagi, ini kan tergantung hasil temuan dan penilaian BPK. Kalau BPK menganggap hal itu melanggar aturan, pasti diminta untuk dikembalikan. Tetapi kan nyatanya itu tidak menyalahi aturan. Hanya saja yang dilakukan pemprov dianggap sebagai tindakan inefisiensi atau sesuatu tidak pada tempatnya. Inefisiensi pada dasarnya tidak dapat dihukum, tidak ada kewajiban untuk mengembalikan upah pungut yang telah diambil,” ujarnya saat dihubungi Haluan, Jumat (9/11).

Lebih jauh Hefrizal mengatakan, setelah diberlakukannya aturan remunerasi, keberadaan insentif atau upah pungut seharusnya sudah tidak ada lagi. Hal tersebut karena pemberian remunerasi didasarkan pada kinerja pihak yang bersangkutan.

“Saya tidak tahu persis apakah di 2016 itu remunerasi sudah berlaku di lingkungan Pemprov Sumbar atau belum. Kalau belum ada, tidak apa-apa ditarik upah pungut. Cuma masalahnya, upah pungut itu harus berasal dari pajak yang dipungut sendiri,” ucap penjara pada Fakultas Ekonomi Unand tersebut.

Aktivis: Perlu Lihat Niat

Sementara itu, Koordinator Lembaga Anti-Korupsi Integritas, Arief Paderi menuturkan bahwa persoalan ini harus dilihat dari sudut pandang mensrea atau niat jahat dari upaya pemungutan. Apabila dalam penarikan insentif tersebut tidak dapat dibuktikan didasari oleh keberadaan niat jahat, maka konteksnya hanya berupa kesalahan administrasi.

“Pada dasarnya suatu tindak pidana dinilai dari niat jahat dalam prosesnya. Kalau kemudian terbukti adanya niat jahat, barulah bisa masuk dalam delik pidana. Sehingga ketika suatu kasus itu telah ditetapkan sebagai delik pidana, maka akan ada kewajiban untuk mengembalikan uang yang telah diambil,” kata Arif.

Akan tetapi, sebutnya lagi, jika konteksnya adalah kesalahan administrasi, maka tidak ada kewajiban untuk pengembalian dilakukan. “Hingga saat ini, sepanjang yang saya tahu, belum ada mekanisme atau peraturan perundang-undangan yang mengatur pengembalian uang akibat adanya kesalahan administrasi,” katanya.

Sudah Dihentikan

Sebelumnya, Kepala DPKD Sumbar, Zaenuddin membenarkan bahwa pihaknya memang menarik upah pungut PBB-KB dan Pajak Rokok pada 2016. Namun, ia menyebutkan bahwa pemungutan tersebut telah sesuai dengan UU Pajak Daerah dan PP Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

“Menurut dua peraturan tersebut, Pemprov melalui DPKD berhak memungut insentif. Akan tetapi, menurut BPK, hal ini tidak sesuai dengan asas kepatutan, sehingga pada tahun-tahun berikutnya kami tidak boleh lagi memungut insentif itu. Sampai sekarang kami memang tidak lagi menerima upah pungut itu, baik dari PBB-KB mau pun Pajak Rokok,” kata Zaenuddin. (h/mg-dan/len)

Selengkapnya…